Batuk Raptor
Selama bertahun-tahun sejak F-22 memasuki layanan garis depan pada tahun 2005, pilot mengeluhkan gejala hipoksia seperti, batuk khas yang menjengkelkan sehingga para pilot menyebut gejala ini sebagai “Raptor cough.” atau Batuk Raptor.
Seorang janda pilot F-22 mengaku batuk yang dialami suaminya telah berkontribusi pada bunuh diri. Kondisi pilot ini kemungkinan juga telah menjadi salah satu penyebab kecelakaan yang fatal Raptor di Alaska pada tahun 2010. Selama empat bulan pada tahun 2011, Angkatan Udara menggrounded seluruh armada F-22 untuk menyelidiki kasus tersebut. Dan rekomendasi dari penyelidikan itu adalah untuk mengganti pakaian pilot yang memberi banyak tekanan. Sementara pada awal 2013, Angkatan Udara mengaku belum ada obat untuk batuk Raptor.
Hingga saat itu lebih dari 200 pilot F-22 mengalami masalah kejiwaan seperti takut, benci, memberontak dan sejenisnya. Masalah yang juga disebut dialami oleh para pilot drone. Intinya mereka tidak merasa bahagia.
Pada bulan Mei 2012, Kapten. Josh Wilson dan Mayor. Jeremy Gordon- keduanya pilot Raptor mengungkapkan ketakutannya kepadapublik. Wilson dan Gordon mengatakan dalam acara 60 Minutes bahwa sebagian besar pilot Raptor yakin mereka tidak aman atau tidak layak untuk terbang.
Dan akhirnya inilah yang menggerakan Air Combat Command dalam laporannya 2012 mengatakan. “Pada awal tahun, [kepala penyidik] Jenderal [Charles] Lyon menganjurkan kepada Jenderal Hostage [Komandan Air Combat Command Jenderal Mike Hostage] guna menggunakan psikolog kedirgantaraan dalam satuan tugas.”
Psikolog kedirgantaraan untuk membantu personil militer yang kembali dari zona pertempuran, atau misi berat, sakit kronis dan penyalahgunaan obat para pilot. Sepertinya upaya ini berhasil. Terbukti pilot F-22 akhirnya diterbangkan ke zona pertempuran sesungguhnya.
Sumber: War is Boring