
Setelah meniru selama bertahun-tahun, China kini dapat merebut pasar ekspor Rusia. Dan sama seperti Rusia, China dapat memanfaatkan pemasukan dari ekspor untuk menawarkan syarat pasokan senjata yang lebih menarik bagi negara-negara dengan pendapatan rendah, seperti Pakistan.
“Hasilnya tak hanya menurunkan jumlah penjualan dari Rusia ke China, tapi Rusia juga kehilangan pasar karena kini beberapa negara mulai membeli senjata buatan China,” kata Nikolas Gvosdev dan Christopher Marsh dalam Russian Foreign Policy: Interests, Vectors and Sectors. “Hal ini merugikan Rusia karena China tak hanya meniru kekayaan intelektual perancang senjata Rusia secara ilegal, tapi juga membuat Rusia merugi secara ekonomi, karena kehilangan pasar untuk ekspor senjata ke pihak ketiga. Rusia menghadapi dilema, mereka dapat duduk dan menerima serangan itu, atau mereka dapat menjual senjata yang lebih canggih untuk China dan menggerakkan angka perdagangan senjata dalam periode singkat (dengan risiko China akan meniru desain tersebut dan mengimpornya ke negara lain).”
Faktanya, China mulai percaya diri atau nakal. Pada Mei lalu, perusahaan China Norinco, yang membuat tank VT-4, melirik tank T-14 Armata, tank terbaru Rusia yang dianggap sebagai senjata revolusioner oleh sejumlah pakar di dunia. Media sosial resmi Norinco menulis: “Transmisi T-14 tak dikembangkan dengan baik, karena kami melihat kegagalan fungsi tank pada gladi resik sebelum parade 9 Mei. VT-4 tak pernah menemui masalah semacam itu. Tank kami juga memiliki sistem kontrol tembakan kelas dunia, sementara Rusia masih berjuang untuk menyainginya.”
Industri pertahanan bekas Uni Soviet sungguh besar, sehingga Rusia belum bisa mempertahankan segala pabrik. Bahkan sektor pertahanan Rusia kini mengalami penurunan—meski masih lebih besar dibanding gabungan industri China dan India—tetapi tak bisa bertahan lama tanpa pesanan ekspor.
“Rusia harus menjual senjata agar industri militernya bisa tetap berdenyut dan mereka bisa tetap menghasilkan senjata militer generasi terbaru. Bagaimanapun, Rusia harus menjual senjata, dan China merupakan pasar potensial yang terbesar bagi Rusia,” terang Gvosdev dan Marsh.
Setelah Uni Soviet bubar, pasar China menjadi sumber penghidupan bagi Rusia. Pada 1993, industri pertahanan Rusia hanya mengoperasikan sepuluh persen dari kapasitas mereka, sebut Andrew T.H. Tan dalam The Global Arms Trade: A Handbook. “Separuh dari industri pertahanan harus gulung tikar karena bangkrut,” kata Tan.
Pesanan internasional tak terpenuhi—karena kacaunya rantai pasokan baku. Pasokan dana dari China sangat berpengaruh terhadap kehidupan industri tersebut. Tan menyatakan bahwa selama dekade tersebut, China memberi pemasukan separuh dari jumlah keseluruhan dana yang diraih Rusia dalam industri pertahanan. Penjualan senjata ke China tak bisa disebut sebagai upaya bunuh diri bagi Rusia.
Sama dengan India yang pernah sangat tergantung pada senjata Rusia namun kini mereka bisa membeli senjata Amerika seharga miliaran dolar untuk meningkatkan hubungan strategis dengan AS, Rusia harus benar-benar memperhitungkan setiap penjualan. (Bersambung)