
Letnan Kolonel Matthew Garrison mengepalai satu-satunya skuadron di Angkatan Udara Amerika yang harus rela menerima pesawat rongsokan. Tidak hanya itu, skudaron yang berbasis di Tyndall Air Force Base bertugas menghidupkan kembali pesawat-pesawat tua yang dikirim ke mereka dengan satu tujuan yakni dihancurkan. Sebuah misi yang unik.
Pesawat-pesawat tua yang datang harus diterbangkan lagi dalam bentuk pesawat tanpa awak atau drone. Setelah semua proses panjang dijalani dan pesawat drone itu terbang, mereka kemudian dikirim ke langit. Sebuah pesawat berawak melesatkan rudalnya dan bummmm…drone hasil karya Grarrison dan timnya itu pun jatuh berkeping-keping. Dan anehnya, saat itulah misi itu disebut sukses.
“Mereka (pesawat tua) datang ke kami dan kami memberi mereka kehidupan baru,” kata Garrison baru-baru ini pada tur salah satu dari hanggar pesawatnya di Tyndall Air Force Base. “Lalu kita menembak jatuh mereka dan meninggalkannya di dasar laut.”
Target udara dengan pesawat tak berawak memiliki sejarah panjang di Northwest Florida. Pada akhir 1940-an, Angkatan Udara menerbangkan “nullo” dari Pangkalan Udara Eglin. Sebuah pesawat berkarat namun kokoh. Dia adalah pembom Perang Dunia II. Pesawat ini kemudian diubah menjadi drone untuk praktek sasaran dan pengujian senjata.
Lebih dari 60 tahun kemudian, program ini telah mencapai tonggak terbaru. Kini pesawat yang dikirim sudah merupakan pesawat generasi keempat meski dari varian paling awal. Dan yang paling banyak datang dalam beberapa waktu terakhir adalah F-16. Skuadron pimpinan Garrison yang diawasi oleh kantor program di Eglin, menyelesaikan misi uji pertama dari apa yang mereka sebut QF-16 yang kemudian ditembak hancur di atas Teluk Meksiko. “Saya adalah orang F-16, sehingga rasanya sedih juga ketika melihat pesawat ini ditembak jatuh,” kata Garrison.
Proses mengubah pesawat menjadi sasaran udara tak berawak dimulai di padang pasir yang menjadi khas Pangkalan Tyndall . Di tempat ini merupakan gudang pesawat yang siap untuk pensiun. Mereka memilih pesawat seperti F-4 dan F-16 yang diambil dari tempat sampah dan menerbangkan ke fasilitas Boeing di Jacksonville.
Boeing kemudian memodifikasi jet untuk terbang tanpa awak, memasang sistem baru dan pengosongan banyak peralatan tua. Sistem operasi yang jauh lebih kecil hari ini dan mereka sering berakhir dengan ruang tambahan, kata Garrison.
Pada saat itu, pesawat mampu terbang sebagai drone. Tetapi masih dapat dioperasikan oleh pilot yang menerbangkan mereka kembali ke Tyndall untuk pengujian cermat dan penggunaan dukungan dalam misi pesawat tak berawak lainnya.
Akhirnya, para penerbang “menekan tombol,” seperti yang mereka katakan, dan mengubah pesawat sepenuhnya tak berawak dengan menghapus kursi lontar dan menempatkan mesin yang lebih ringan dan murah. Pesawat tidak akan pernah lagi memiliki pilot di kokpit. Nasib mereka disegel. “Mereka tidak datang kembali kepada kami setelah itu,” kata Garrison.
Berjalan melalui hanggar Garrison justru layaknya museum angkatan udara. Skuadron ini memiliki pesawat yang telah diubah jadi drone dari armada F-4 yang pernah terlibat di perang Vietnam dan F-16 yang bertempur di Operasi Badai Gurun, Irak dan Afghanistan.
Pilot drone duduk di sebuah bangunan di hanggar. Selama misi, mereka malakukan manuver pesawat kosong melalui langit di atas Teluk, kamera kecil transmisi pandangan terbatas ada kokpit. Garrison mengatakan tantangan terbesar untuk terbang tak berawak QF-16 adalah visibilitas. “Anda tidak bisa melihat ke samping,” katanya. “Sulit untuk belajar untuk menempatkan diri di langit tanpa semua yang menambahkan informasi visual.”
Untuk QF-16, pilot akan mendapatkan hal yang hampir sama dengan pesawat senyatanya. Karena pesawat yang dibuat dengan sistem operasi elektronik baru, mereka lebih mudah untuk mengkonversi dengan kemampuan tak berawak dan membuat transisi lebih mudah bagi pilot.
Pada bulan Juni 2015 , skuadron di Tyndall akan menggantikan semua QF-4 drone dengan QF-16. Pada akhir 2016, detasemen mereka di Holloman Air Force Base di New Mexico akan membuat transisi yang sama. QF-16 lebih cepat, lebih ramping dan lebih mampu dari pesawat yang lebih tua, Jadi lebih oke jika dijadikan sasaran bidik. Mereka lebih mampu bertindak seperti apa yang kemungkinan dihadapi dalam perang.
“Drone ini aktif akan melakukan manuver seperti aslinya dan mampu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh pesawat Rusia,” kata Michele Hafers, Direktur Tes dan Pelatihan di Eglin, yang mengawasi proyek tersebut.
Sumber: Military Times