Isyarat terbaru yang menunjukkan bahwa Pemerintah Baghdad mempertimbangkan opsi mengundang mesin militer Rusia untuk memerangi ISIS di wilayah mereka menyorot peran Moskow sebagai pemain baru yang asertif di Timur Tengah. Hal ini pun menimbulkan kekhawatiran bahwa pelajaran berharga dari ‘imperialisme yang terlalu lebar’ yang didapatkan Uni Soviet di Afganistan pada 1970-an telah terlupakan.
Kemungkinan Rusia membuka ‘front kedua’ di Irak menciptakan perdebatan luas, begitu pula motif Baghdad sendiri. Salah satu argumen ialah efek psikologis atas gelombang pertama serangan udara Rusia di Suriah, yang menciptakan sikap simpatik di kalangan populasi Syiah, yang membandingkannya dengan pencapaian sederhana kampanye koalisi yang dipimpin AS, yang telah berlangsung sepanjang tahun.
“Banyak warga Irak juga menyimpan dendam dan kekecewaan atas ekspektasi yang tak terpenuhi setelah Amerika menduduki Irak. Bicara tentang teori konspirasi, beberapa pihak menyebutkan bahwa kegigihan ISIS di medan tempur mungkin hasil rancangan Washington,” kata Michael Gordon, pengamat untuk The New York Times dalam artikel terbaru yang ia publikasikan.