Site icon

Intifada, Perlawanan yang Tak Kunjung Usai

intifada 4Situasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza memanas dalam beberapa pekan terakhir. Tercatat sedikitnya 32 warga Palestina terbunuh dan 7 warga Israel tewas sejak awal Oktober lalu.

Sejumlah kelompok Palestina, seperti Hamas menyebut gerakan perlawanan saat ini sebagai Intifada ketiga. Kericuhan yang dimulai dari aksi pelecehan aparat Israel terhadap Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama Muslim.

Intifada secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya untuk menggentarkan atau kebangkitan. Bangkit dari kevakuman sebagai awal revolusi melawan penjajahan Israel.

Dalam sejarah modern Palestina gerakan intifada pertama pecah pada 9 Desember 1987. Revolusi bermula dari kendaraan jeep Israel yang menabrak pekerja Palestina. Saat itu, para pekerja tersebut sedang menunggu pulang ke Jalur Gaza. Akibat insiden itu empat orang tewas.

Kabar meninggalnya keempat warga Gaza itu sontak memicu demonstrasi spontan setelah dua puluh tahun aksi brutal pendudukan Israel. Situasi semakin memanas setelah pengunjuk rasa berusia 17 tahun Hatem Abu Sisi terbunuh oleh peluru Zionis.

Tak mempunyai senjata canggih, pemuda-pemuda Palestina melakukan perlawanan dengan melemparkan batu dan bom molotov ke aparat, tank dan buldoser Israel.  Warga Palestina juga melakukan perlawanan lain seperti aksi mogok massal, memboikot Pelayanan Sipil Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka juga menolak bekerja di wilayah pendudukan Israel dan memboikot produk-produk Zionis.

Dalam 13 bulan pertama, setidaknya 332 Palestina dan warga Israel terbunuh. Mayoritas korban adalah warga sipil, pemuda dan anak-anak.  Perlawanan berlangsung cukup lama hingga dilangsungkannya Konferensi Madir pada 1991.

Kendati penabrakan warga Palestina menjadi pemicu, namun ada persoalan lain yang sebetulnya menjadi problem utama yakni rasa putus asa. Warga Palestina sudah merasa cukup dengan aksi penjajahan Zionis di tahan kelahiran mereka. Israel mengontrol ekonomi, sosial hingga keamanan. Warga Palestina secara sistematis dipaksa bergantung dengan Israel.

Next: Intifada Kedua

Intifada Kedua

Gerakan intifada kedua pecah pada 2000. Aksi perlawanan meletus sebagai reaksi atas kunjungan mantan perdana menteri Israel Ariel Sharon dan sekitar 1.000 aparat kepolisian.

Kunjungan dilakukan pada 28 September 2000. Ariel Sharon mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memprovokasi umat Islam, terutama Mulsim Palestina.  “Temple Mount berada di tangan kita,” ujar Sharon.

Temple Mount merupakan sebutan Israel bagi Haram al-Sharif yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa. Zionis menganggap di dalam kompleks tersebut berdiri kuil suci Yahudi, Kuil Sulaiman.

Bentrokan pun pecah hampir setiap hari antara warga Palestina dan aparat Israel. Tentara dan polisi Zionis menindak keras dan menggelar operasi khusus untuk menghukum para pejuang. PBB pun mengeluarkan Resolusi 1322 menyusul aksi kekerasan berlebihan Israel.

Menurut keterangan Palestinian Center for Human Rights, setidaknya 4.973 warga sipil Palestina terbunuh dalam intifada kedua. Di antara korban tewas yakni 1.262 anak-anak, 274 wanita dan 32 personel medis. Mayoritas korban akibat serangan udara yang dilakukan Israel ke populasi padat penduduk di Jalur Gaza, dan aksi kericuhan di Tepi Barat, termasuk di kamp-kamp pengungsi.

Kelompok hak asasi manusia Israel B’Tselem melaporkan, aparat Israel telah memblokade akses ke kota-kota Palestina. Mereka memblokade dengan menggunakan beton atau membuat parit yang dalam. Israel juga membuat pos pemeriksaan dan memberlakukan jam malam.

Pada 16 Juni 2002 Israel mulai membangun Tembok Apartheid. Mayoritas tembok berdiri di tanah Palestina.  Dengan tembok itu Israel dengan mudah menganeksasi lahan milit Palestina. Pengadilan internasional menyebut pembangunan itu ilegal dan harus dihentikan.  Tidak ada waktu persis kapan intifada kedua berakhir. Namun banyak sumber menyebut awal 2005 intensitas perlawanan sudah berkurang.

Next: Generasi Baru Perlawanan Palestina

Generasi Baru Perlawanan Palestina

Jelang tahun baru Yahudi bulan lalu, bentrokan pecah di dalam komplek Masjid Al-Aqsa. Aparat Zionis dengan semena-mena melepaskan tembakan peluru karet, gas air mata dan granat kejut ke jamaah masjid.  Mereka masuk ke dalam masjid dengan menggunakan sepatu pantofel.

Sejumlah infrastruktur di dalam masjid rusak, termasuk karpet yang terbakar. Israel juga menerapkan pembatasan ke Al-Aqsa bagi umat Islam.

Aksi bentrokan merembet ke luar kompleks masjid. Pemuda-pemuda Palestina di Tepi Barat melemparkan batu, bom molotov ke aparat Israel. Aksi perlawanan terhadap Israel tidak hanya melibatkan para lelaki namun juga remaja putri Palestina.  Mereka adalah generasi-generasi baru berpendidikan yang menentang aksi pendudukan Israel dan penodaan terhadap Masjid Al-Aqsa.   Tak hanya itu, sejumlah warga Palestina yang nekat melakukan aksi penusukan atau penikaman. Sasarannya tentara dan warga Israel.

Kondisi itu membuat waswas warga Israel, khususnya yang berada di Yerusalem. Media-media Israel sangat berhati-hati menyebut gerakan perlawanan ini sebagai intifada. Adapun kelompok Hamas Palestina, mendukung gerakan intifada tersebut.

Pejabat Israel menyebut serangan sporadis warga Palestina sebagai “lone wolves” atau orang-orang yang beroperasi mandiri tanpa ada pihak tertentu di belakangnya. Model serangan ini sulit terdeteksi, baik sasaran maupun pelaku.

Aparat Israel melakukan sejumlah langkah keras untuk menghadapi aksi konfrontasi. Petugas tidak segan-segan menembak mati pelaku penembakan, bahkan jika pelaku penyerangan masih bocah.

Zionis juga tak segan menggunakan peluru tajam untuk menghadapi demonstran Palestina. Ahmad Sharaka, bocah Palestina berusia 13 tahun termasuk korban tewas yang merasakan keganasan peluru Zionis.  Israel juga melakukan pengawasan ketat terhadap permukiman Palestina di Yerusalem Timur. Petugas mendirikan pos-pos pemeriksaan. Menurut sumber, tiga dari empat jalur utama buat kendaraan ke pemukiman ditutup.

Lebih dari 30 warga Palestina dan 7 Israel terbunuh sejak awal Oktober lalu. Belum diketahui kapan ketegangan ini akan selesai. Pejabat Israel mengatakan siap bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Amman, Yordania untuk meredakan ketegangan.  Namun apakah itu cukup? Mengingat tak sedikit demonstran Palestina yang sudah tidak lagi menggubris Abbas.

Sumber: Republika

 

Exit mobile version