
Lima bulan setelah India mengumumkan kesepakatan untuk membeli 36 jet tempur Rafale dalam bentuk jadi dari Prancis, Angkatan Udara India berharap agar kesepakatan segera bisa dicapai. Tetapi ternyata sama saja. Buntu dan berlarut-larut.
Meski kedua pihak sering mengatakan bahwa sudah ada langkah maju tentang pembicaraan tetapi fakta yang ada tidak bisa menutupi bahwa negosiasi berjalan bertele-tele.
Kesepakatan untuk pembelian 36 jet Rafale, dari Dassault Aviation, diumumkan selama kunjungan Perdana Menteri Narendra Modi ke Paris pada bulan April. India memutuskan untuk membeli 36 jet dari Paris dalam kondisi kusut dalam perjanjian pemerintah-ke-pemerintah. Angkatan Udara India, yang sangat membutuhkan untuk menggantikan armada penuaan pesawat Soviet MIG, berharap untuk pesawat baru.
Sementara situasi berbeda terjadi ketika Prancis dan Mesir melakukan negosiasi pembelian pesawat tersebut. Dengan cepat kesepakatan diteken untuk pembelian 24 Rafale. Bahkan tiga pesawat telah dikirimkan.
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menandatangani kontrak 24 Rafale di Kairo pada bulan Februari dengan anggaran diperkirakan mencapai US$5,6 miliar. Qatar juga menandatangani kesepakatan pada bulan Maret 2015 untuk pembelian 24 jet Rafale.
Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian mengunjungi Kairo beberapa hari setelah Perancis mengirimkn jet. Dia juga berencana mengunjungi India pada 31 Agustus di mana kesepakatan itu diharapkan akan menandatangani. Tetapi ternyata tidak. Le Drian berada di Malaysia justru membuat terobosan dalam pendekatan untuk penjualan Rafale dan ke negara tersebut. Namun, ia langsung terbang ke Eropa mengetahui pembicaraan tidak mungkin mencapai kesimpulan dengan segera.
Menurut Utusan Perancis Francois Richier, menteri pertahanan harus terbang ke Eropa untuk menghadiri pertemuan para menteri pertahanan Uni Eropa.
Tetapi anehnya sejumlah pihak menyebut pembicaraan telah berjalan dengan baik.
Menurut berbagai sumber Prancis dilaporkan tidak senang atas klausul offset yang mengharuskan Prancis harus berinvestasi 50 persen dari nilai kontrak di India.
Apapun itu, masalah ini akan membawa dampak serius ke kekuatan udara India yang sedang dalam situasi kritis pesawat tempur. Setidaknya tiga skuadron MiG-21 dan MiG-27 harus ditutup pada akhir tahun. Angkatan Udara India saat ini memiliki 33 skuadron tempur dan sebenarnya sedang berusaha untuk meningkatkan menjadi 42.