Seperti diketahui Raptor dihentikan produksinya pada 187 armada saja dari rencana semula 381 jet.
Berbicara kepada wartawan di konvensi Asosiasi Angkatan Udara di National Harbor, Md., di luar Washington komandan Air Combat Command Jenderal Eagle Carlisle mengatakan ia akan senang jika melihat Raptor kembali produksi. “Saya bermimpi tentang hal itu setiap malam,” kata Carlisle.
Memang, Raptor telah terbukti menjadi pesawat perang yang tangguh dengan kombinasi unik dari kemampuan siluman, kecepatan, manuver, ketinggian dan sensor. Ini adalah pesawat tempur superioritas udara terbaik yang pernah diproduksi Amerika Serikat dan dianggap sebuah kesalahan menghentikan produksi sebelum waktunya.
Tetapi meski Angkatan Udara Amerika begitu ingin Raptor kembali ke produksi, tetapi sepertinya itu tidak akan terjadi. Kenapa? Karena Raptor sendiri juga tidak lepas dari masalah.
Masalah pertama adalah sulitnya perawatan dan perbaikan pesawat ini. Satu baru saja pensiunan resmi Angkatan Udara yang akrab dengan Raptor menceritakan bagaimana sulitnya memperbaiki Raptor yang rusak. Dalam satu kasus pengelola Angkatan Udara harus membangun komponen tertentu dari awal untuk mengganti bagian yang rusak parah untuk F-22. Kru pergi ke kotak Conex di mana perkakas dan instruksi untuk membangun bagian diduga disimpan, tapi mengejutkan dan menjengkelkan wadah itu kosong. Pola yang sama berulang beberapa kali-dan sebagai yang terakhir kalinya sumber diperiksa-isu tetap belum terpecahkan. Intinya adalah bahwa bahkan jika Angkatan Udara ingin memasukkan pesawat itu kembali ke produksi maka dibutuhkan tambahan ivestasi yang sangat besar dan waktu yang lama.
Next: Teknologi Usang
Faktor kedua yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa avionik Raptor dibangun sebelum jet itu dinyatakan operasional pada bulan Desember 2005. Sementara Raptor adalah pesawat perang operasional paling maju di persediaan Angkatan Udara tetapi dengan arsitektur komputer awal 1990-an. Mereka menggunakna core pada 25MHz-sehingga butuh waktu lama mengembalikan jet ke tahap desain untuk produksi. Selain itu, software Raptor sangat tumpul dan sulit untuk meng-upgrade. Hal ini yang menjadi penyebab mengapa mengintegrasikan AIM-9X dan rudal-120D AIM ke pesawat telah menjadi begitu bermasalah. Avionik jet harus dirombak jika ingin restart produksi, bukan hanya karena mereka usang, tetapi juga karena prosesor kuno jet dan komponen lainnya belum dibuat dalam beberapa dekade. Itu akan menjadi proposisi sangat mahal pada saat anggaran Angkatan Udara menyusut.
Faktor ketiga yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa badan pesawat didasarkan pada desan yang berasal dari tahun 1980-an. Raptor, pada tahun ini, telah dalam pelayanan selama satu dekade. Teknologi yang sudah tua -siluman, propulsi, avionik dan desain badan pesawat telah ada jauh sejak F-22 dirancang. Angkatan Udara harus mau berinvestasi beberapa puluh miliar dolar ke dalam pesawat untuk memastikan bahwa teknologi tersebut masih relevan dengan ancaman dekade dari sekarang. Pada 2035, Raptor akan telah bekerja selama 30 tahun dan sebagian besar sistem akan benar-benar usang pada saat itu.
Jadi Angkatan Udara hampir tidakm ungkin untuk restart lini produksi Raptor. Teknologi jet mungkin tidak relevan dengan lingkungan ancaman hingga 2030 apalagi dengan asumsi PAK FA dan J-20 memiliki teknologi yang lebih terkini atau setidaknya terbuka untuk menerima berbagai upgrade.
“Angkatan Udara sudah mulai meletakkan dasar untuk pesawat generasi berikutnya dengan kemampuan superioritas udara yang disebut FX. Kami belum tahu bagaimana hal itu akan terbentuk tapi itu pasti akan dirancang untuk melawan ancaman masa depan,” tulis Dave Majumdar editor pertahanan majalah The National Interest Kamis 17 September 2015.