Timur Tengah menghadapi risiko perlombaan kekuatan rudal, mirip dengan persaingan AS-Soviet selama Perang Dingin.
Tidak lama setelah kesepakatan nuklir Iran, dari Presiden AS Barack Obama menegaskan kebijakannya kerjasama dengan Gulf Cooperation Council (GCC) untuk mengintegrasikan sistem anti-rudal pertahanan yang berbeda di kawasan itu
anti-rudal pertahanan
“Sistem ini bertujuan untuk menyaingi arsenal rudal balistik tangguh Iran dan mendorong integrasi lebih lanjut dari pasukan militer Teluk Arab. Minggu ini, John Kerry bertemu dengan berbagai pejabat Arab, dalam rangka untuk meyakinkan tentang kesepakatan nuklir dan komitmen Amerika Serikat untuk pertahanan Teluk Arab dari ancaman Iran, ” kata Kandidat doctor King College yang berbasis di London Aaron Stein
Stein menggarisbawahi bahwa selama perundingan nuklir Iran, Washington dan Teheran tetap berselisih apakah sanksi embargo senjata akan dihilangkan. Tetapi Teheran memiliki stok rudal balistik terbesar di kawasan itu.
Sementara itu, Washington memperkuat kerjasama militer dengan negara-negara GCC, yang meliputi Qatar, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, serta dengan Israel untuk melawan ancaman rudal Iran.
“Negara anggota GCC berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan pertahanan rudal balistik, termasuk melalui pengembangan sistem peringatan dini rudal balistik. Amerika Serikat akan membantu melakukan kajian arsitektur pertahanan rudal balistik dan menawarkan bantuan teknis dalam sistem peringatan dini, ” demikian pernyataan Gedung Putih, yang dirilis pada tanggal 14 Mei 2015.
Namun, negara-negara anti-Iran juga mencari untuk mendapatkan jarak kemampuan rudal ofensif. Misalnya, Riyadh telah mengakuisisi rudal balistik dari China, sementara UEA telah bergegas untuk membeli sistem yang lebih pendek yang mampu menghantam Iran. Selain itu, kedua negara telah mengimpor rudal udara ke darat Storm Shadow buatan Inggris / Prancis untuk jet tempur Typhoon dan Mirage mereka.
“Penjualan rudal ini di Amerika Serikat kontroversial, karena berpotensi melanggar aturan Missile Technology Control Regime (MTCR),” jelas Stein sebagaimana dikutip Ria Novosti Sabtu 9 Agustus 2015.
Rudal jelajah konvensional AS dan China telah memicu internasional dalam memperoleh rudal konvensional untuk serangan presisi. “Permintaan ini menciptakan masalah kebijakan yang jelas: untuk menyaingi jumlah rudal balistik Iran, negara-negara Teluk memiliki alasan untuk memperoleh rudal jelajah untuk serangan presisi dan pertahanan rudal untuk mencegat rudal.”
Kemampuan yang berkembang di negara-negara Teluk Arab sebaliknya juga akan dijadikan alasan bagi Iran untuk terus menggenjot kemampuan rudal mereka. Terlebih Teheran akan mendapatkan sistem rudal anti-udara Rusia S-300. Yang terjadi kemudian adalah banjir rudal di Timur Tengah.
Menurut Stein perlombaan rudal ini tidak berbeda dari persaingan AS-Soviet selama Perang Dingin.