
Komunitas penjinak peledak di militer AS atau explosive ordnance disposal (EOD), dibuat kerja keras dengan bom yang diletakkan pinggir jalan dalam perang terakhir. Dan sekarang mereka sedang kebingungan dengan ancaman baru dari drone murah yang bisa diubah dengan gampang menjadi pembawa bom rakitan atau IED.
Kecelakaan pendaratan quadcopter di halaman Gedung Putih pada bulan Januari 2015 lalu telah memicu kekhawatiran bahwa musuh berteknologi rendah bisa memanfaatkan alat tersebut untuk mengirimkan bom. Dan sejauh ini para penjinak bom belum memiliki teknik untuk mengantisipasinya.
“Saya pribadi percaya bahwa platform tanpa awak akan menjadi salah satu senjata yang paling penting dari zaman kita,” kata Kapten Angkatan Laut. Vincent Martinez, komandan Divisi Teknologi Naval Surface Warfare Center (NSWC) . “Aku harus mulai berpikir tidak hanya tentang bagaimana saya meningkatkan payload tapi bagaimana saya meredam platform.”
Meskipun quadcopter yang mendarat di Gedung Putih tidak mengakibatkan kerusakan sedikitpun tetapi Martinez mencatat drone dengan payload 6 pon bisa membawa bahan peledak.
“Bayangkan media jika yang mendarat di atas Gedung Putih membawa bom dam neledak apakah itu membunuh siapa pun atau tidak,” kata Martinez sebagaimana dikutip Defense News Rabu 29 Juli 2015. “Dengan menambah C4 [peledak plastik] itu akan bisa memunculkan ledakan cukup besar.”
Anggota EOD sangat khawatir musuh akan memanfaatkan teknologi lebih cepat dan dalam cara-cara baru, dan mereka harus waspada dan merampingkan proses akuisisi untuk menjinakkanya.
The National Defense Industrial Association pada hari Selasa dan Rabu (28-29 Juli 2015) mengadakan konferensi tahunan EOD di Bethesda, Maryland, di mana para pejabat membahas masalah tersebut.
ISIS diketahui telah menggunakan drone. Komando Sentral AS mengumumkan pada bulan Maret bahwa mereka telah membom sebuah pesawat kendali jarak jauh ISIS, yang seorang juru bicara Departemen Pertahanan kemudian digambarkan sebagai “model pesawat,” yang digunakan untuk bom.
Jerry Leverich, seorang analis senior Army Training and Doctrine Command’s futures directorate mengatakan quadcopter seharga US$ 100 saat ini sedang digunakan untuk pengawasan, yang dapat dengan cepat diadaptasi untuk pembawa bahan peledak. Leverich menolak terhadap detail spesifik metode yang digunakan oleh ISIS.
Dalam perang baru-baru ini AS telah sering memiliki keunggulan teknologi, tapi mungkin tidak bertahan, kata Leverich. “Salah satu kekuatan dari Amerika Serikat adalah ketika kita memiliki satu musuh, kita dapat dengan cepat reorientasi dan membawa kemampuan untuk fokus pada musuh kami,” kata Leverich. “Tapi sekarang kita berada dalam periode ketidakpastian yang luar biasa, dan mencoba untuk menentukan apa ancaman tunggal akan menjadi sebuah tantangan besar.”