Ribuan orang akan berkumpul di pemakaman Potocari Sabtu 11 Juli 2015 guna memperingati pembantaian terhadap tidak kurang dari 8.000 muslim Bosnia oleh Serbia hanya dalam waktu tiga hari. Pembantaian yang berlangsung 11 Juli 1995 itu disebut sebagai terburuk di Eropa setelah Holocaust.
Namun setelah 20 tahun, PBB tidak juga bisa mengeluarkan resolusi untuk mengutuk dan menyebut kejadian itu sebagai genosida atau pembantaian etnis.
Pembantaian merupakan puncak dari rencana Serbia menguasai bagian timur dari Bosnia dan Herzegovina menyusul pecahnya Yugoslavia. Gerakan ini dimulai pada tahun 1992 dengan pembersihan etnis penduduk muslim Bosnia dan pihak lain yang menentang aneksasi.
Tetapi Rusia telah memveto resolusi Dewan Keamanan PBB pada Rabu (8/7) yang ingin memasukkan pembantaian Srebrenica sebagai genosida saat peringatan 20 tahun kejadian tersebut. Tiongkok, Nigeria, Angola dan Venezuela abstain dan 10 anggota dewan yang tersisa sebagai mendukung. Pemungutan suara tertunda sehari karena Inggris dan Amerika Serikat berusaha membujuk Rusia untuk tidak memveto rancangan itu.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin menyebutkan resolusi digambarkan sebagai tidak konstruktif, konfrontatif dan bermotif politik. “Menyalahkan masa lalu pada satu orang jelas tidak adil,” kata Churkin, tapi ia menambahkan: “Namun bukan berarti bahwa kami tuli dengan penderitaan korban Srebrenica dan daerah lain di Bosnia dan Herzegovina.”
Pengadilan internasional untuk bekas Presiden Yugoslavia telah memutuskan pembantaian ini sebagai pembunuhan massal terburuk di tanah Eropa sejak Perang Dunia II dan merupakan bentuk genosida.
Inggris marah dengan veto Rusia. “Genosida terjadi di Srebrenica. Ini adalah fakta hukum, bukan pertimbangan politik. Tentang hal ini tidak ada kompromi,” kata Wakil Duta Besar Inggris untuk PBB Peter Wilson setelah pemungutan suara.
“Veto Rusia ini memilukan bagi keluarga dan dunia,” kata Duta Besar AS untuk PBB, Samantha Power, yang juga seorang wartawan di Bosnia ketika pembantaian terjadi.
Munira Subasic, Ketua Asosiasi Ibu Srebrenica, yang kehilangan suami dan anak dalam pembantaian, mengatakan Rusia seharusnya malu dengan hak vetonya. “Setelah 20 tahun, Rusia menunjukkan bahwa didukung kejahatan bukannya keadilan,” katanya.
Sementara Presiden Serbia Tomislav Nikolic mengatakan bahwa Rusia telah membuktikan dirinya sebagai teman sejati dan jujur.