Ekspor Senjata China Masih Rendah dan Lambat

Ekspor Senjata China Masih Rendah dan Lambat

J-10
J-10

Industri senjata dalam negeri China telah meningkatkan produksi tetapi belum mampu memenuhi permintaan domestic. Produksi jet tempur J-10 dan J-11 tercatat mencapai 30 per tahun. Jumlah ini jauh dari kebutuhan untuk penggantian senjata dan peralatan di Angkatan Udara dan Angkatan Laut China sendiri.

Pada Paris Air Show awal bulan ini, China juga hanya memastikan ada dua pembelian yakni jet tempur FC-1 Xiaolong atau JF-17 Thunder dan FTC-2000 Mountain Eagle (Shanying), pesawat tempur pelatih dua-kursi. Sebaliknya, Eropa dan Amerika Serikat memperoleh banyak pesanan di pameran.

Pembeli utama senjata China tetap negara-negara yang pernah membeli jet tempur mereka, tetapi Mesir dan beberapa negara lain telah bergeser sepenuhnya ke Eropa dan Amerika Serikat untuk mengisi gudang senjata mereka. India, importir terbesar kedua di dunia dari senjata, juga telah beralih ke Barat dan Rusia.

Tetapi bukan berarti industri senjata China tertinggal dalam hal kemampuan manufaktur. Permintaan domestik yang sangat besar menjadi alasan utama lambatnya partumbuhan ekspor senjata China.

Selama 20 tahun terakhir, China telah mengambil dua pendekatan untuk mengembangkan peralatan militer untuk ekspor dan domestik. Misalnya, tank tempur utama Jenis 90, MBT-2000, PLZ-52 dan Plz-05-tidak untuk ekspor.

Penawaran senjata biasanya tidak hanya tentang memenuhi kebutuhan militer tetapi juga negara-negara menjanjikan dukungan untuk membela diri dari negara yang lebih kecil.

China, jarang membuat janji-janji dukungan politik ketika terlibat dalam penawaran penjualan senjata dengan negara-negara lainnya. Misalnya, China telah menjual senjata ke Myanmar, yang telah diganggu perang saudara selama satu dekade, tapi tidak membuat janji-janji dukungan politik. Dalam perang antara Iran dan Irak, dan Sudan dan Sudan Selatan, China tidak mendukung satu pihakpun.

Pada periode 2010-2014, China menggantikan Jerman sebagai eksportir terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Rusia, menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).