Assad di Ujung Tanduk, Akankah Moskow Tunduk?

Assad di Ujung Tanduk, Akankah Moskow Tunduk?

asyad
Bashar al-Assad

Jatuhnya kota kuno Tadmur (Palmyra) ke tangan ISIS dapat menjadi titik balik pengubah permainan dalam perang yang telah berlangsung selama empat tahun di Suriah. Hal itu memunculkan pertanyaan baru yang tak mudah bagi Moskow: bagaimana posisi Rusia di wilayah tersebut jika rezim pemimpin Suriah Bashar al-Assad runtuh?

Presiden Assad punya segunung masalah yang menghadang. Perang telah menelan korban dalam jumlah yang sangat menyedihkan: satu dari tiga laki-laki Suriah di usia wajib militer terbunuh, sementara kekacauan arus pendapatan membuat kas negara hampir kosong-melompong. Assad juga melihat basis kekuatannya menyusut: jumlah Alawi (Syiah) saat ini tinggal dua juta orang, atau hanya sekitar sepuluh sampai 12 persen dari jumlah keseluruhan populasi Suriah.

Prediksi para pakar bahwa rezim Assad akan tumbang dalam beberapa bulan ke depan sepertinya mulai masuk akal. Apakah itu akan membuat Rusia sakit kepala? Atau, sebaliknya, justru kepergian Assad akan membuat Rusia lega dan membuka kesempatan untuk memulihkan hubungan yang runyam dengan para pemain internasional lain di wilayah tersebut?

Grigory Kosach, profesor Studi Oriental di Russian State University for Humanities, dan kritikus setia kebijakan luar negeri Kremlin, menyatakan pada Troika Report, “Tentu hal tersebut akan membuat Moskow sakit kepala, tapi itu harus dilihat dalam konteks kebijakan Rusia, yang secara de facto berkontribusi terhadap kemunculan para ekstremis di wilayah tersebut, khususnya ISIS. Di saat yang sama, Moskow menuduh sejumlah negara Arab, terutama Arab Saudi dan Qatar, yang telah menciptakan ISIS. Kepergian Assad mungkin tak akan membuat Moskow tergerak memperbaiki kesalahannya dan memulihkan hubungan dengan mereka. Bahkan jika Moskow mengakui perlunya melakukan hal tersebut, itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama.”

Namun, pendapat tersebut disanggah oleh Yevgeny Satanovsky, Presiden Institute of Middle East Studies yang berbasis di Moskow. Ia menyampaikan pada Troika Report,

“Suriah bisa saja runtuh, namun kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah apakah Suriah akan terpecah menjadi empat atau lima bagian dan beberapa bagian di antaranya dikontrol oleh kelompok radikal? Artinya, akan muncul pemimpin lain, bukan Assad namun seorang jenderal atau politisi Suriah, yang mengontrol bagian Suriah yang tetap di bawah kontrol Assad. Kemudian akan ada bagian Suriah lainnya, di mana Alawi (Syiah), Druze, dan umat Kristen bisa hidup tanpa diintai oleh ancaman genosida.”

Lantas, apakah kehadiran pemimpin baru yang menguasai Damaskus bisa langsung mencairkan hubungan Rusia yang membeku, misalnya, dengan negara-negara Teluk Persia?