
Dalam penjelasannya beberapa waktu lalu Sri Sultan HB X menyinggung soal Kembang Lampir. Di bagian akhir penjelasannya Sultan mengatakan begini:
“Ketika swargi (almarhum) masih sugeng (HB IX masih hidup) sejak saya bernama Herjuna Darpita sampai Mangkubumi sampai sekarang. Dulu, swargi karena banyak di Jakarta, kalau menyuruh ke mana saja ke patilasan para leluhur yang disuruh itu saya. Karena saya diperintah ya saya lampahi. Jadi saya itu tidak punya guru tidak punya dukun.
Tapi mengertilah dulu HB IX ketika membangun Kembang Lampir di Gunungkidul yang disuruh juga saya. Sebagai pengingat ketika Eyang Panembahan Senapati bertapa di sana sebelum jumeneng nata. Petilasan itu ada.
Saya, juga diberi ngruwat dan ngrawat gua yang ada di pesisir selatan. Pada zaman dulu Eyang Prabu Brawijaya V melarikan diri ke Gunungkidul karena digebak (diserang) Raden Patah dan pasukannya, saya bangun untuk mengingat pada zaman dulu Eyang Prabu Brawijaya pernah lenggah di Ngobaran. Dua tempat ini tidak mau dibiayai Kraton. Saya yang menjaga.
Dikisahkan Ki Ageng Pemanahan, pendiri Mataram, diperintahkan oleh Sunan Kalijaga gurunya melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati tetapi berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang Lampir di wilayah Panggang, Gunungkidul.
Apa sebenarnya Kembang Lampir? Tempat ini terletak di Dusun Mendak, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Tempat ini merupakan tempat tirakat dan laku lahir batin Ki Ageng Pemanahan ketika sedang sedih hati dan mencari wahyu kraton Mataram. Petilasan hanya terbuka pada hari Senin dan Kamis.
Tempat ini dipugar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tempat yang paling sakral adalah pertapaan yang diberi pagar seperti kandang sapi. Di samping itu juga ada Wuwung Gubug Mataram yang merupakan lokasi pertapaan topo ngluweng Kiai Ageng Pemanahan dan tempat penyimpanan pusaka Songsong Ageng Tunggul Naga. Ada tiga patung baru, yakni patung Kiai Ageng Butuh, Kiai Ageng Pemanahan dan Panembahan Senapati. Di dalam Prabayaksa tersimpan benda-benda peninggalan Kiai Ageng Pemanahan, di antaranya mahkota rumah yang pecah. Larangan: jangan mengambil sesuatu yang ada di kompleks petilasan.
Untuk dapat sampai ke petilasan ini pengunjung harus melewati anak tangga permanen yang telah dibangun. Denah kompleks Kembang Lampir berbentuk angka 9 (sembilan). Hal ini sebagai tanda bahwa kompleks itu dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.