
Ketika foto Mariam Al Mansouri – pilot tempur wanita pertama Uni Emirat Arab (UEA) muncul pada Sepetember 2014 lalu dan menjadi pemimpin jet-jet tempur negara tersebut menyerang ISIS sebenarnya itu menunjukkan bukti adanya pergeseran kekuatan udara di Arab. Bukan hanya kebebasan perempuan Arab untuk masuk ke dunia militer tetapi juga gambaran kekuatan baru angkatan udara di negara-negara yang ada di wilayah tersebut.
Pada tahun 2014, Suriah, Mesir, dan Libya menghadapi tantangan besar ketika Angkatan Udara mereka yang memiliki banyak pesawat ternyata sudah sangat usang dan tidak lagi cocok dengan negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar yang secara signifikan memperluas kemampuan udara mereka.
Tetapi harus diakui pula sampai saat ini, angkatan udara Arab tidak memainkan peran dalam lanskap strategis di Timur Tengah. Meskipun Mesir dan Suriah memiliki jumlah armada yang kuat, tetapi tidak pernah terlibat pertempuran dalam tiga dekade. Kedua angkatan udara hancur hanya dalam beberapa jam oleh gempuran Israel selama Perang Enam Hari pada tahun 1967. Mesir, yang merupakan kekuatan udara Arab terkuat pada saat itu, kehilangan 338 pesawat, sebagian besar bahkan tidak punya waktu untuk lepas landas.
Meskipun kedua pasukan telah mulai pulih namun pada 1973, kekuatan udara tidak menjadi penentu dalam merebut kembali Sinai. Bahkan pada tahun 1982, pertempuran udara antara Suriah dan Israel juga merusak parah sistem pertahanan udara Suriah.
Memang, Perang Teluk 1991 dan Perang Irak pada tahun 2003 menunjukkan bahwa wilayah udara Arab menjadi milik semua orang. Akhirnya pemboman pimpinan Amerika memberikan kontribusi signifikan terhadap pembebasan Kuwait dan kemudian jatuhnya Saddam Hussein. Pemboman Amerika di Libya pada tahun 1986, serangan Israel adalah hal biasa terjadi ruang udara Lebanon, dan serangan Israel terhadap fasilitas nuklir di Suriah pada tahun 2007. Semua itu menunjukkan Angkatan Udara di Arab seperti hanya memiliki fungsi seremonial semata. (bersambung)