
Kampanye udara Amerika dan koalisi untuk menggempur ISIS di Irak dan Suriah sangat tergantung pada pangkalan militer mereka di kawasan Timur Tengah. Masalahnya, sekarang ini tidak semua negara bersedia membuka diri. Kalaupun mereka mau menjadi tuan rumah, biasanya akan sangat rahasia dan menutupnya rapat-rapat agar negara lain tidak tahu.
Keengganan ini muncul karena dua hal. Pertama, tudingan Amerika yang menyebut sejumlah negara di kawasan Teluk menjadi sumber dana para gerakan radilak. Kedua, mereka khawatir serangan ini memunculkan banyak korban sipil hingga akhirnya negara itu pun akan mendapat citra tidak baik.
Dengan kondisi ini maka AS saat ini sepertinya harus mengandalkan tiga pangkalan mereka yang ada di kawasan Teluk. Yaki al Udeid Air Base di Qatar, Ali al Salem Air Base di Kuwait, dan al Dhafra Air Base di Uni Emirat Arab. Selain itu, Predator dan pesawat AS lainnya terbang dari Pangkalan Udara Incirlik di Turki, sekutu NATO. Serta pesawat yang berangkat dari Kapal Induk George HW Bush.
Mustafa Alani, Direktur Studi Keamanan dan Pertahanan Pusat Penelitian Teluk di Jenewa, mengatakan bahwa negara-negara Teluk umumnya mendukung aksi militer AS terhadap Negara Islam. Namun dia mengatakan penguasa negara di kawasan itu takut reaksi jika serangan udara menimbulkan korban sipil. “Negara-negara ini mencoba untuk melindungi diri dengan tidak mengetahui dan tidak meminta,” kata Alani.
Al Udeid

Dari sejumlah pangkalan itu yang paling strategis adalah al Udeid di Qatar yang merupakan rumab pusat komando Angkatan Udara untuk semua operasi udara di Timur Tengah dan Afghanistan. Ketika perang di Afghanistan dan invasi 2003 ke Irak, al Udeid menjadi markas sekitar 9.000 tentara AS. Unit utamanya adalah Wing 379 Air Expeditionary yang memiliki lebih dari 90 jet tempur dan pesawat pendukung.
Meskipun keberadaan pangkalan ini menjadi rahasia umum, selama bertahun-tahun militer AS selalu menahan diri dari mengucapkan namanya dan hanya mengatakan bahwa pesawat dan personil ditempatkan di suatu tempat di “Asia Barat Daya.”
Bedanya, pada bulan Desember ketika Menteri Pertahanan Chuck Hagel mengunjungi Qatar akan menandatangani perpanjangan sewa 10 tahun untuk pangkalan tersebut yang artinya Amerika secara terbuka akan mengakui mengakui kehadiran tentara AS.
Sejak bulan Juni 2014 ketika Presiden Obama memerintahkan pasukan untuk kembali ke Irak dalam jumlah kecil, pejabat militer telah menutup informasi darimana kekuatan militer yang dikirim.
“Untuk menjaga keamanan operasional dan rahasia negara yang menjadi tuan rumahkita tidak merinci lokasi asal pasukan, pesawat atau jenis persenjataan,” kata Mayor. Curtis J. Kellogg, juru bicara Komando Pusat, yang mengawasi operasi militer di Timur Tengah.
Ali al Salem & al Dhafra

Basis lain adalah Ali al Salem Air Base di Kuwait yang juga tidak pernah diakui oleh Pentagon. Biasanya Pentagon hanya mengidentifikasi sebagai pangkalan di Asia Barat Daya. Pangkalan ini diijuluki “the Rock” oleh pasukan AS dan menjadi pangkalan drone terdekat ke Irak. Drone Predator dari Skuadron Reconnaissance Ekspedisi 46 Angkatan Udara cukup terbang sekitar hanya 40 kilometer ke perbatasan.
Sementara al Dhafra Air Base di Uni Emirat Arab juga menjadi pangkalan Amerika untuk menggerakkan pesawat tempurnya. Dari daerah ini pasukan Amerika punya fleksibilitas tinggi untuk bisa mencapai Irak dan sekitarnya.
Kadang, komandan militer memberikan petunjuk tentang di mana pesawat-pesawat tempur AS memulai operasi. Pada 11 Agustus 2014, Letnan Jenderal William Mayville, Direktur Operasi Staf Gabungan Pentagon, mengatakan kepada wartawan bahwa di antara pesawat melakukan serangan udara yang F-15E strike Eagles dan F-16 Fighting Falcon. Skuadron kedua jet tempur secara rutin dikirim ke al Udeid.
Lalu pada 17 Agustus, Komando Pusat AS mengumumkan bahwa pesawat pembom telah bergabung dengan kampanye udara. Meskipun tidak memberikan rincian, pejabat mengakui bahwa pernyataan itu disebut B-1 pembom, yang juga berbasis di al Udeid.
Masalahnya adalah Amerika dan sejumlah negara Barat menuduh baik Qatar, Turki ataupun UEA sebagai negara tempat penggalanan dana besar-besaran oleh para militan entah itu Negara Islam, al-Qaeda dan kelompok-kelompok lainnya.
Pekan lalu, menteri pemerintah Jerman, Gerd Mueller, menuduh Qatar pembiayaan militan Negara Islam dan membantu untuk mempersenjatai mereka. Meskipun Kementerian Luar Negeri Qatar membantah tuduhan itu dan pemerintah Jerman meminta maaf.
Demikian pula, di Kuwait, meski Amerika begitu mendapat manfaat dari Ali al Salem Air Base AS telah menyatakan keprihatinan yang meningkat tentang dukungan lokal untuk kelompok-kelompok garis keras. Pada 6 Agustus, Departemen Keuangan menyebut sejumlah pihak di Kuwait yang diduga mendanai Negara Islam dan al-Nusra Front, afiliasi al-Qaeda di Suriah.
Sumber: Washington Post
Comments are closed.