
BEIJING: Sejumlah pihak memprotes keputusan Badan Sensor China yang mensensor belahan dada dalam acara televise “Empress of China”. Acara ini mengisahkan tentang pemimpin dinasti Tang, Wu Zetian, yang berkuasa pada akhir abad ke-7.
Bulan lalu pihak HunanTV menghentikan tayangan tersebut dengan alasan adanya gangguan teknik, namun seminggu kemudian setelah mengudara kembali, acara tersebut mendapatkan banyak suntingan pada adegan yang menampilkan belahan dada para pemeran wanitanya.
Langkah ini memicu kemarahan pengguna Internet China yang menyatakan bahwa penmyensoran tersebut sudah terlalu jauh dan menjadi usaha untuk mengubah sejarah mode negara tirai bambu tersebut.
Surat kabar The Global Times yang merupakan pendukung Partai Komunis yang berkuasa, dalam editorialnya mengutarakan bahwa sensor itu dilakukan karena keprihatinan moral. Protes publik yang dihasilkan harus menjadi peringatan untuk masa depan.
“Meskipun kuat, sensor tidak memiliki kewenangan,” katanya. “Dalam hal ini, bila ingin menerapkan penyuntingan agar lebih memperhatikan pertimbangan kepada pendapat publik untuk menggalang dukungan dan menghindari insiden serupa,” Aturan yang mengatur sensor di China juga dianggap tidak jelas dan tidak ada penjelasan akan penyuntingan adegan-adegan tersebut, namun penggambaran negatif atas politik kontemporer yang sering dilarang, seperti mengungkapkan adegan dan isu-isu yang dipercaya pihak berwenang bisa menyebabkan kerusuhan sosial.
Global Times bersikeras bahwa sistem kontrol penyiaran memang diperlukan “Kenyataannya adalah bahwa sensor ada di banyak negara dan tidak mungkin tidak ada di Cina,” tulisnya.
Bulan lalu, pemutaran perdana film terbaru sutradara terkenal Jiang Wen, “Gone with the Bullets”, tiba-tiba ditunda karena tuntutan sensor. Sebuah survei online yang dirilis oleh layanan mikroblogging Sina Weibo pada Senin (5/1) menemukan bahwa hampir 95 persen responden setuju dengan penyensoran pada “Empress of China”.
Menurut laman kementerian budaya chinaculture.org, wanita dinasti Tang menggunakan baju “Ruqun” dan gaun kombinasi tradisional “yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan membuka kerah dan belahan dada payudara mereka”.
“Hal ini tidak pernah terjadi dan tak terbayangkan dalam dinasti sebelumnya, di mana perempuan harus menutupi seluruh tubuh mereka sesuai dengan faham klasik Konfusius,” menurut laman tersebut. “Namun para perempuan aristokrat yang berpikiran terbuka dari Dinasti Tang mulai menganut gaya yang baru,” tambah laman itu.