Di usianya yang ke-69, pada 5 Oktober 2014, Tentara Nasional Indonesia menghadapi dua tantangan berat. Pertama mengejar ketertinggalan alat utama sistem pertahanan (alusista) negara lain yang sudah masuk era siluman. Kedua, menghadapi proxy war yang juga merupakan perang siluman.
Dalam beberapa dekade terakhir perkembangan kekuatan militer di Asia Pasifik termasuk Asia Tenggara melaju dengan pesat. Ketika Amerika dan Eropa dipaksa memangkas besar-besaran anggaran militernya, negara-negara di Asia Pasifik justru sebaliknya. Bahkan Amerika menyebut saat ini tumpukan militer terbesar di dunia ada di wilayah ini. ”Lautan dan langit Asia Pasifik dengan cepat berkembang menjadi wilayah yang paling militer di dunia, ” kata Pemimpin Komando Pasifik AS Laksamana Samuel Locklear beberapa waktu lalu.
Hampir semua negara di kawasan ini dari Jepang, Korea, India, hingga negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam terus menambah belanja militernya. Pun demikian dengan Australia.
Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa anggaran pertahanan di Asia Tenggara naik 5% menjadi US$35,9 miliar pada tahun 2013 dan diperkirakan akan tumbuh menjadi US$40 miliar tahun 2016. SIPRI mengatakan belanja pertahanan di kawasan itu telah lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1992 . (LEBIH LENGKAP BACA: MILITER ASIA TENGGARA TUMBUH CEPAT)
Bukan hanya secara kuantitas alat perang di wilayah ini bertambah tetapi secara kualitas. Sejumlah negara di Asia berlomba-lomba untuk masuk pada teknologi perang abad ke-21 yang ditandai oleh dua hal. Yakni teknologi siluman dan drone atau pesawat tanpa awak. Bahkan Singapura yang merupakan negara kecil menjadi salah satu negara yang dipastikan akan menggunakan pesawat tempur siluman generasi kelima F-35. Australia, Jepang, dan Korea juga memastikan membeli senjata paling mahal dalam sejarah Pentagon tersebut. Sementara India juga tengah mengembangkan pesawat siluman bersama Rusia selain membangun dua kapal induk dalam negeri.
Salah satu pemicu perkembangan pesawat di daerah ini tidak lepas dari agresivitas China dalam membangun kekuatan militernya. Negara ini terus berusaha mengejar ketertinggalan dengan Amerika. Seperti halnya Amerika, China juga tengah membangun dua pesawat siluman J-20 dan J-31 selain juga jor-joran dalam membangun kapal induk. (UNTUK DETIL SEBARAN MILITER ASIA BACA DI SINI)
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Setelah sempat terpuruk karena krisis ekonomi dan embargo Amerika, secara pelan namun pasti pertahanan Indonesia kembali dibangun. Negara inipun terus-terusan menambah alusistanya.
Pada 2013 TNI AU mendapat enam Su – 30MK2. Sementara pada delapan Super Tocano tiba menambah empat yang sudah datang pada 2010. Masih di tahun yang sama 16 Korean Aerospace Industries ( KAI ) T – 50I masuk layanan serta mulai menerima lima pesawat F-16 52ID dari Amerika melalui proyek Peace Bima Sena II. Rencananya Indonesia akan menerima total 24 pesawat jenis ini. Angkatan Laut Indonesia menerima pesawat patroli maritime CN-235 220 buatan PT Dirgantara Indonesia pada September 2014. Sebelumnya dua pesawat sejenis yang sama diterima 2013. (BACA: INDONESIA KEMBALI TERIMA 2-F16 C/D 52ID)
Untuk kekuatan laut pada September 2014 Angkatan Laut menerima satu kapal cepat rudal (KCR) KRI Halasan 630 dari PT PAL. Ini adalah kapal ketiga jenis ini yang diterima dua sebelumnya adalah KRI Sampari 628 diserahkan pada Mei 2014 dan KRI Tombak 629 diserahkan pada 27 Agustus 2014. Pada 2014 Angkatan Laut juga menerima tiga kapal fregrat ringan yakni KRI Bung Tomo, KRI Usman Harun dan KRI John Lie Indonesia juga tengah memesan 3 kapal selam dari Korea Selatan
Sementara di darat sebanyak 52 tank yang terdiri dari 24 tank Leopard dan 28 tank Marder telah tiba di Jakarta pada 30 Agustus 2014 dari total 180 tank kelas ini yang dibeli. Indonesia jug masih menunggu 37 unit meriam 155 MM Howitzer dari Prancis, 38 unit rudal MLRS dari Brasil dan 8 Helikopter Apache.
Namun begitu Indonesia masih harus kerja keras karena hingga saat ini belum mencapai status minimum essential force (MEF) sehingga sulit untuk melaksanakan pengamanan dan pengawasan secara maksimal. Selain itu, teknologi yang dikejar Indonesia masih dalam tataran generasi keempat. Sementara di negara lain sudah berlomba-lomba menuju teknologi siluman dan drone.
Proxy War
Hal lain yang menjadi tantangan adalah proxy war. Sebuah sistem perang yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara memecah belah suatu negara.Proxy war ini juga bukan teori lagi. Tetapi telah terjadi di mana-mana. Sejumlah pakar menyakini apa yang terjadi di Libya, Irak, Afghanistan dan saat ini
Suriah adalah proxy war untuk menghancurkan negara hingga kemudian mudah diintervensi dan dikendalikan. Indonesia dengan wilayah yang luas dan sangat heterogen sangat mudah dijadikan sasaran perang semacam ini.
Seperti halnya Proxy war memberi kesulitan bagi militer untuk bertindak. Karena ketika menggunakan kekuatan untuk meredam konflik dalam negeri harus dihadapkan pada tudingan hak asasi manusia dan demokrasi. Dalam situasi seperti inipun asing kemudian juga melakukan intervensi. Contoh paling dekat terjadi di Thailand ketika militer mengambil alih kekuasaan karena situasi berbahaya, negara tersebut langsung diembargo oleh Amerika.
Comments are closed