
Suatu saat musim semi tahun 1944, komandan Sekutu menyimpulkan bahwa pasukan udara mereka telah mencapai superioritas udara di wilayah yang membentang dari Inggris hingga Prancis tengah serta dari Belgia hingga Belanda.
Meski pesawat Luftwaffe Jerman telah member banyak pukulan tetapi tetap saja hal itu tidak menjadikan Amerika kehilangan superiotasnya. Dan superiotas itu dikuasai terus dalam beberapa decade. Dari Perang Korea, Perang Vietnam hingga berbagai perang di Timur Tengah, pesawat-pesawat Amerika tetap memegang kendali udara. Sayangnya, pada tahun 2014 ada indikasi kuat bahwa keunggulan udara Amerika berkurang.
Dalam hal penguasaan udara analisis membaginya pada tiga tingkatan yakni Supremasi, Superiotas dan Paritas. Supremasi adalah kondisi di mana Negara mampu melakukan control penuh terhadap musuh dari udara. Lawan tidak mampu melakukan sedikitpun perlawanan. Sementara superiotas ketika pasukan udara mampu memberi dukungan penuh terhadap pasukan darat dan laut. Dalam status ini musuh mampu memberikan perlawanan tetapi perlawanan itu bisa dengan mudah dipatahkan. Sedangkan Paritas udara adalah ketika sebuah Negara mampu mengontrol wilayahnya dari serangan musuh.
Superioritas dan supremasi udara memberikan militer sebuah kesempatan untuk melakukan operasi militer secara lebih leluasa. Dominasi udara pada level ini suatu Negara mampu dengan cepat melakukan serangan termasuk sebuah serangan dadakan yang mengejutkan.
Kekuatan udara Amerika selama ini mampu mencapai level tersebut dan menjadi alat penting dalam sebuah diplomasi., Amerika mampu dengan cepat menggerakkan pasukan udaranya ke sebuah wilayah dan mengontrol wilayah musuh. Sebagai missal, ketika Korea menyerang Jepang atau Filiphina, maka Amerika bisa dengan cepat menggerakkan B-52 dari pangkalan Guam.
Tetapi persoalan di Irak memunculkan hal yang aneh. Kenapa Amerika seperti tidak lagi mampu dan mau untuk mengerakan pesawat mereka ke wilayah tersebut meski banyak pihak yang sudah memintanya. Amerika dinilai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap situasi irak yang kacau saat ini. Tetapi kenapa justru seolah tak respek.
Bahkan Negara itu kalah langkah denga Rusia yang sudah mengirim pesawat-pesawat tempur mereka. Selain memberikan Su-25 dengan cepat, Rusia juga segera melesatkan Su-27 salah satu pesawat paling canggih saat ini. Sejumlah Flanker sudah berada di Irak dalam status siap tempur. Sementara Amerika bahkan menunda-nunda pengiriman F-16 yang sudah dibeli Irak.
Jika Rusia punya SU-25, Amerika punya A-10 yang merupakan pesawat sejajar dan fungsinya sama yakni pesawat serangan darat. Kenapa Rusia bisa segera mengirim sementara Amerika tidak? Akhirnya Negara-negara Timur Tengah Yordania, Arab Saudi dan Turki menilai Amerika memang lamban dalam hal ini.
Persoalannya kembali berujung pada pemotongan anggaran militer mereka yang besar-besaran. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa Amerika sangat perhitungan untuk menggerakkan pesawat yang pasti membutuhkan biaya tidak sedikit. Akhir nya gelar superiotas dan supremasi udara mulai dipertanyakan. Amerika tidak lagi memiliki kemampuan seperti dulu untuk menggerakan alat tempurnya.
Amerika baru menggerakan pesawat tanpa awak yang relative murah dalam operasional. Tetapi belum ada fakta drone mampu mengimbangi alat tempur konvensional dalam kemampuan tempurnya. Pentagon beberapa kali mengungkapkan pemotongan anggaran telah menjadikan USAF tak lagi mampu membeli apa yang diinginkan. Bom pintar, misil dan sebagainya. Mereka punya F-16 atau A-10, tetapi misilnya tak lagi sebanyak sebelumnya. Sama saja tak bisa apa-apa. Mereka sadar, drone menjadi alternative terbaik ditengah anggaran yang tipi situ. Tetapi lagi-lagi teknologi ini masih terkendala banyak hal terutama ketika ada masalah dengan satelit. Drone masih harus dioperasionalkan bersamaan dengan pesawat lain semacam F-22 Raptor. Jika itu bisa maka dominiasi udara masih bisa dipegang. Jika tidak maka bukan tidak mungkin supremasi udara Amerika akan digeser Negara lain.
Comments are closed