Debut F-35 Lightning II di Eropa pada bulan Juli 2014 menjadi langkah penting bagi pesawat siluman generasi kelima tersebut. Tetapi langkah itu dinilai tetap tidak akan menghilangkan kontroversi di sector pertahanan udara yang terus memperdebatkan tentang pesawat tempur yang diklaim paling canggih di dunia tersebut.
Perdebatan akan terus mengalir sebagai buntut keterlambatan serta biaya yang membengkak dari program Joint Fighter Strike tersebut. Pertanyaan mendasar adalah apakah kinerja F-35 akan sesuai dengan lama waktu menunggu serta tingginya biaya. Program ini adalah program Pentagon yang paling mahal dalam sejarah pengadaan sistem senjata. Semua belanja dimasukkan ke sana.
Dilihat dari masalah domestik, wajar Amerika menggebu soal F-35 karena saat ini sebagian besar kemampuan tempur mereka masih dikuasai oleh pesawat generasi keempat yang pasti akan terus menua. Jadi program F-35 menjadi harapan untuk menjaga grade kemampuan mereka di langit.
Sedang faktor eksternal, F-35 juga sangat dibutuhkan mengingat Rusia sebagai salah satu rival utama juga sudah terlanjur masuk dalam program generasi kelima dengan pesawat T-50 dan sudah masuk dalam uji terbang prototip. Belum lagi Rusia juga mengembangkan dengan cepat sistem pertahanan udara mereka.
Tetapi jika retorika antara Rusia, negara-negara tetangganya dan Amerika Serikat dapat harum Perang Dingin itu bernilai baik tetap pepatah pikiran MarkTwain bahwa sejarah sajak daripada mengulangi. Terlepas dari tindakan Moskow melawan Ukraina Eropa belum jatuh kembali ke super-power konfrontasi, Krimea tidak mungkin untuk membuktikan generasi ini Berlin Airlift.
Tetapi lagi-lagi persoalan ekonomi akan menjadi hambatan bagi F-35 untuk bisa masuk ke sejumlah negara. Amerika terus memangkas anggaran pertahanan. Ekonomi Eropa juga belum pulih sepenuhnya dan anggaran militer mereka juga ikut dipangkas. Dan terbukti sejumlah negara menjadikan F-35 sebagai korban pemangkasan. Meski tidak membatalkan tetapi mereka menunda pembelian.
Untuk sektor pertahanan kedirgantaraan Eropa menghadapi realitas berlanjutnya tekanan pada anggaran pertahanan. Mereka harus memutar cara untuk mendapatkan strategi yang paling realistis. Sementara itu, arena internasional semakin ramai dan kompetitif dengan pendatang baru yang terus berebut pasar sempit. Akhirnya F-35 benar-benar semakin sulit.
Untuk Amerika mungkin tidak akan begitu bermasalah terkait program pembelian pesawat ini. Karena memang peta jalan mereka adalah menjadikan pesawat ini sebagai tulang punggung pertahanan mereka. Saat F-35 benar-benar muncul maka dipastikan semua pesawat akan dipensiunkan untuk menghemat angaran. Mereka masih yakin F-35 mampu menjalankan peran dari F-16, A-10 hingga F/A-18 Super Hornet. Semua teraangkum dalam satu tubuh yakni F-35.
Tetapi bagaimana dengan Eropa yang diharapkan menjadi pasar utama kedua setelah Amerika? Ada kekhawatiran lain di kawasan ini adalah masih akan bertahan berapa lama sebenarnya pesawat tempur berawak itu digunakan? Karena faktanya saat ini terjadi perkembangan pesawat pada sistem pertahanan udara tanpa awak atau drone. Sistem ini dianggap paling murah dan paling kecil risikonya tetapi dengan efektifitas yang tidak kalah tanding. Sekali lagi ada anggapan F-35 terlalu lambat munculnya. Dia akan benar-benar hadir ketika platform pertahanan udara sudah bergeser.
Pesawat Eropa
Selain itu Eropa juga masih ditempati pesawat-pesawat tempur canggih yang diyakini masih dalam posisi siap mengamankan pertahanan sebuah negara. Swedia memiliki Saab Gripen ini bisa dibilang masih menjadi yang terbaik. Dengan asumsi dia akan memenangkan kontrak di Brazil, maka dia akan memiliki pelanggan kuat untuk pesawat ini hingga bisa mengembangkan Gripen E / F. Pesawat ini juga masih memiliki jalur luas untuk pengembangan ke kemampuan yang lebih luas. Lagi-lagi F-35 akan kesulitan untuk bersaing dengannya. Apalagi untuk negara-negara yang sedang dalam fase menganti pesawat generasi empat awal mereka. Jelas Gripen akan menjadi pilihan yang paling masuk akal dibandingkan F-35 yang harganya di awang-awang.

Eurofighter Typhoon juga masih sangat garang. Pesawat produksi empat negara ini baru akan mengakhiri produksi pada awal 2018. Tetapi bisa jadi akan jauh lebih lama lagi jika banyak pesananan yang datang. Saat ini masih ada potensi pembelian lanjutan dari Arab Saudi dengan jumlah lebih dari 48 pesawat untuk melengkapi 72 pesawat yang sudah diterima. Sejumlah peluang lain juga sedang dikejar.

Dassault dari Prancis juga masih memilih konsentrasi untuk pengembangan Rafale. Apalagi sekarang masih memegang kontrak pengadaan 126 Rafale untuk India. Kemungkinan juga untuk Qatar hingga 72 pesawat.

Hampir dipastikan pesawat-pesawat Eropa itu masih akan bertahan beberapa dekade ke depan. Setelah itu baru mereka berpikir untuk secara total menggantikan armada tempur mereka. Pertanyaannya lagi, ketika waktu itu datang apakah F-35 masih layak untuk dipilih? Atau lagi-lagi platform pertahanan udara sudah berbeda lagi. Itulah yang menjadi salah satu alasan kenapa Eropa begitu hati-hati dalam melakukan investasi untuk pesawat ini. Mungkin memang benar. F-35 terlalu lambat munculnya.
Sumber: