
Sejumlah negara sudah menyatakan minatnya untuk memiliki sistem pertahanan udara S-400 Triumf Rusia. Negara ini pun bersikap hati-hati dalam menjual mesin penghancur yang mampu melesat hingga 400 km tersebut.
Igor Sevastyanov, Kepala delegasi Rusia ke Eurosatory 2014, sebuah pameran militer internasional, kepada wartawan Rabu 17 Juni 2014 mengaku sejumlah negara memesan senjata itu. Hanya saja, Rusia belum bisa mengambil keputusan. Yang jelas, peluang untuk menjual ke negara lain tetaplah ada.
Dia menegaskan, Rusia akan meminta syarat tidak mudah bagi siapapun yang ingin memiliki sistem pertahanan udara paling canggih tersebut. Apa syaratnya? Tentu saja dia tidak mau membuka secara gamblang. Namun dia yakin tidak akan banyak negara yang mampu memenuhinya.
“Tidak begitu banyak negara siap untuk membeli sistem ini. Kami memiliki sejumlah permintaan, dan agen federal sedang mempertimbangkan mereka sangat hati-hati, “kata Sevastyanov, tanpa menyebutkan rincian lebih lanjut.
Beberapa tahun yang lalu Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan S-400 Triumph hanya akan diproduksi untuk kebutuhan internal negara. Sebelumnya pada bulan April, Presiden Rusia Vladimir Putin menekankan perlunya untuk meningkatkan produksi sistem rudal anti-balistik canggih untuk ekspor ke sekutu dan mitra Rusia. Penjualan meliputi S-300, S-400 dan Pantsir-S1.
S-400 Triumph adalah sistem pertahanan udara jarak menengah dan panjang. Mampu menghancurkan segala bentuk ancaman udara. Setiap sistem dapat melacak sebanyak 36 target pada waktu bersamaan dan mampu melesatkan 72 rudal. China beberapa waktu terakhir terus merayu Rusia agar bisa membeli alat ini. Pasalnya, setelah dianalisa kemampuan militer mereka belum aman dari serbuan F-35 yang memiliki jarak serang lebih dari 200 km.
Rusia adalah eksportir senjata terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pada 2013, Rusia mengekspor senjata senilai sekitar 15,7 miliar dollar Amerika. Untuk 2014 ini hingga Maret sudah ada pesanan hingga 47 miliar. Meskipun sejumlah negara menjatuhkan sanksi akibat krisis Ukraina, tampaknya hal itu tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap penjualan senjatanya.
Sumber: Ria Novosti