Site icon

Cingcing Goling, Kisah Pelarian Majapahit

Berasal dari dusun Gedangan, Gedangrejo, Karangmojo, Gunungkidul. Upacara ini dapat dikategorikan sebagai upacara selamatan atau ungkapan rasa syukur. Pada saat perhelatannya upacara Cingcing Goling mampu menjadi magnet yang menarik perhatian masyarakat, baik yang berasal dari Gunungkidul maupun luar daerah.

 

Rakyat bersukacita dalam tradisi Cingcing Goling.
Foto: hery_fosil/ensiklopedi gunungkidul

Upacara adat Cingcing Goling dirayakan setahun sekali, setelah panen sawah (biasanya pada bulan Mei) pada Kamis Kliwon atau Senin Wage. Rangkaian upacara adat Cingcing Goling dimainkan oleh 24 orang (23 putra dan 1 perempuan) 21 orang berperan sebagai perampok, 2 orang berperan sebagai Eyang Wisang Sanjaya dan Eyang Tropoyo dan seorang wanita berperan sebagai Nyi Wisang Sanjaya.
Dalam upacara ini warga membuat ayam panggang, lauk-pauk dan nasi sebagai perlengkapan kenduri. Kenduri ini akan dikirab dari rumah Kepala Dusun Gedangan menuju ke Bendung Kali Dawe, yang nantinya dibagikan kepada para pengunjung. Namun, dalam membuat makanan ini terdapat pantangan-pantangan yang harus dipatuhi, di antaranya:
1. Makanan yang dimasak tidak boleh dicicipi.
2. Tidak boleh memasak tempe kedelai.
3. Orang hamil tidak boleh menghadiri.
4. Makanan yang akan disedakahkan harus ikhlas.

Sebelum acara mulai, warga sekitar membersihkan tempat upacara berlangsung. Sesudah membersihkan, mereka bersama juru kunci membuat pembatas yang terbuat dari janur yakni daun kelapa muda. Fungsi dari pembatas tersebut adalah untuk membatasi bagi orang yang sedang haid maupun sedang hamil yang tidak boleh menonton melebihi pembatas tersebut. Malam sebelum acara berlangsung, seluruh pemain Cingcing Goling bersama sang juru kunci melakukan doa bersama atau tirakatan.

 

salah satu adegan dalam Cingcinggoling. Foto Herry_fosil/ensiklopedi gunungkidul

Sejarah adat upacara Cingcing Goling terjadi pada abad ke-15 pada tahun 1400 M. Diawali dari peperangan antara Keraton Majapahit dan Keraton Demak. Pasukan Demak memenangkan peperangan tersebut. Banyak prajurit serta senopati yang gugur. Sebagian mengungsi di hutan dan pegunungan. Dikisahkan Eyang Wisang Sanjaya beserta istrinya, Ki Tropoyo dan Senopati Yudopati mengungsi di daerah sekitar Kali Dawe, Gedangrejo. Di sana mereka diterima dengan senang oleh sesepuh Gedangan, di antaranya: Kyai Brojonolo, Kyai Honggonolo, Kyai Nolodongso. Semua kebutuhan hidup telah dicukupi oleh masyarakat Gedangan. Supaya tidak diketahui musuh, Eyang Wisang Sanjaya berganti nama menjadi Kyai Gedangan.
Mereka hidup dengan menjadi petani dan membangun bendungan di Kali Dawang untuk mengairi lahan pertanian. Selain berperan dalam pertanian, mereka memberikan masyarakat harapan dan keberanian untuk mencing-cing kain guna melawan perampok yang telah lama meresahkan desa mereka. Penduduk Gendangan pun merasa senang dengan kehadiran mereka. Tanaman kian subur dan gerombolan perampok pun dapat dikalahkan.
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, Eyang Wisang Sanjaya menyelenggarakan upacara di bawah pohon beringin. Ucapara ini terus berlangsung hingga sekarang. Dalam legenda Cingcing Goling, disebutkan bahwa Eyang Wisang Sanjaya dan istrinya meninggal dan dimakamkan di pemakaman Krapyak Gedangan. Eyang Tropoyo meninggal hilang beserta raganya di bendungan Kedung Dawang. Tidak seorang pun menemukan jasadnya sampai sekarang. Sedangkan Eyang Yudopati meninggal dan dimakamkan di Pemakaman Delu Gedangan.

 

Sumber: ensiklopedi gunungkidul

 

 

Indonesia sebenarnya negeri yang hebat luar biasa. Kenapa sekarang justru sering dianggap lemah dan diremehkan. Bahkan oleh negara kecil macam Singapura.  baca di

http://earningloot.biz/?reflink=amiruddin

Exit mobile version