More

    Gunungkidul Milik Orang Kaya

    on

    |

    views

    and

    comments

    Image
    Senja di Pantai Kukup

    Gunungkidul sedang sexy. Pegunungan kapur yang dahulu orang langsung membayangkan kekeringan dan kemiskinan saat mendengar namanya disebut kini telah menjadi kawasan yang banyak dipandang. Ribuan orang luar daerah berduyun-duyun datang ke tempat ini setiap minggunya.

    Gunungkidul seperti menjawab ”kebosanan” dunia wisata Jogja yang harus diakui tidak banyak berkembang. Berpuluh-puluh tahun hampir tidak ada destinasi baru yang ditawarkan. Apa yang dikunjungi ketika ke Jogja? Prambanan, Kraton, Kaliurang, Malioboro, Parangtritis, Borobudur, Gembiraloka. Selesai!

    Gunungkidul yang sejatinya memiliki potensi besar sejak lama seperti tidak pernah masuk dalam daftar kunjungan. ”Ngapain ke Gunungkidul?”

    Tetapi jangan coba-coba mengatakan seperti itu sekarang ini. Sebagai orang Gunungkidul asli saya sudah merasakan malas untuk ke daerah itu pada hari-hari libur. Macet!

    Apapun yang ada di Gunungkidul menjadi menarik. Pantai, goa, gunung, makanan, sungai, hingga tiwul yang dulu simbol kemiskinan pun jadi  menarik. Belalang, ungkrung, yang sejak dulu jadi makanan Gunungkidul dan dianggap sebagai bentuk “kenggragasan” justru sekarang ini dicari banyak orang. Benar-benar sexy! Pertanyaannya, siapkah Gunungkidul menjadi sexy seperti sekarang ini?

    Sebagai orang  yang lahir dan besar di Gunungkidul, saya justru melihat bahaya besar di ujung dari proses ini. Jika tidak segera sadar, maka apa yang terjadi di Gunungkidul tidak lebih dari sekadar kesejahteraan dan kesuksesan yang dimiliki sebagian orang. Orang-orang Gunungkidul terancam akan menjadi suku Betawi yang tersingkir ketika Jakarta menjadi sebuah kota besar dengan segala kebesarannya. Dan itu  juga terjadi di banyak daerah. Belum lagi konflik yang mulai timbul tenggelam di daerah ini karena kemajuan yang ada.

    Mari bicara soal Pindul dulu. Gua yang terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo ini sebenarnya sebuah mulut dari sebuah sungai bawah tanah yang tembus ke Kali Oya. Wisatawan diajak melakukan rafting menyusuri sungai bawah tanah ini yang membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Bisa kemudian dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Oya tadi. Eksotis.

    Sekitar 25 tahun yang lalu, ketika saya masih kecil kerap mandi di sungai tersebut meski tentu saja tidak sampai menyusuri gua hingga dalam. Masyarakat dulunya menyebut sungai ini dengan nama ”Nggedong”. Tempat ini sejak dulu sudah menjadi tempat main (karena belum layak untuk disebut tempat wisata). Hanya saja dulu yang didatangi bukan sungainya, tetapi ada sebuah monumen yang dibangun di tempat tersebut. Pada saat bergerilya, Jenderal Sudirman pernah bermarkas di tempat ini dan kemudian markas tersebut dibakar oleh Belanda. Selanjutnya didirikanlah monumen berupa sebuah tugu besar.

    Sekarang Pindul menjadi primadona wisawatan. Ribuan bahkan puluhan ribu orang setiap minggu datang ke wilayah yang aslinya masih pedesaan tersebut. ”Kalau libur jangan ke sana. Seperti Ka’bah ramainya,” ujar seorang teman.

    Namun juga tidak butuh waktu lama untuk muncul masalah. Pengelolaan Pindul yang dilakukan oleh tiga operator memunculkan problem. Tiga operator ini berebut wisatawan tanpa koordinasi waktu yang jelas. Akhirnya ribuan wisatawan bertumpuk antre di sungai untuk masuk gua. Mereka harus rela antre terapung-apung berjam-jam menunggu waktu bisa memulai petualangan. Mulai terasa benar ketidaknyamanan di tempat itu.

    Problem kian meledak ketika terjadi rebutan wilayah. Dipicu oleh seorang pemilik tanah di atas Gua Pindul yang mengklaim gua adalah miliknya. Dia sempat menutup pintu gua dengan pagar namun kemudian dijebol oleh para operator.

    Puncaknya, muncul sebuah operator baru yang digawangi oleh seorang anggota DPRD setempat. Berkolaborasi dengan pemilik tanah yang mengklaim gua dia akan mendirikan sekretariat tepat di atas gua. Bahkan sang anggota Dewan itu melakukan ”teror” dengan mendatangi kantor operator yang lama, marah-marah dan mengumpat-umpat entah apa maksudnya. Operator lama pun membawa kasus ini ke kepolisian. Dalam beberapa hari terakhir, Pindul dijaga ketat oleh tentara dan polisi. Masyarakat juga menutup akses jalan agar anggota Dewan itu tidak bisa membangun sekretariatnya.

    Gampang melihat pemicu kenapa Pindul jadi rebutan. Jelas ini masalah uang. Lainnya, belum ada mekanisme yang jelas karena perda yang mengatur daerah tersebut belum ada. Entah, apakah polemik Pindul akan terselesaikan atau akan kian menjadi-jadi. Semua sedang menunggu perkembangannya.

    Diakui atau tidak butuh kedewasaan masyarakat untuk menjadi daerah wisatawan. Dan sejauh ini Bali bisa menjadi contoh. Bagaimana masyarakat menjadi bagian dari wisata itu sendiri. Orang datang tidak sekadar mengunjungi destinasi tetapi juga merasa tenang dan keramahan masyarakat. Dan itu belum terbentuk dengan baik. Munculnya konflik jelas sebagai indikasi hal itu. Wisatawan akhirnya yang jadi korban. Mau datang untuk senang-senang kok malah lihat orang berantem. Malah jadi rebutan. Berani bertaruh! Jika tidak segera pada sadar dan menata diri, Pindul akan ditinggalkan. Yakin saya seyakin-yakinnya!

    Sesungguhnya bukan hanya Pindul yang memiliki potensi konflik. Bom konflik ada di banyak daerah di Gunungkidul. Bahkan ada perseorangan dan kelompok yang secara tidak langsung menguasai sejumlah goa. Karena punya uang banyak mereka membeli tanah besar-besaran di sekitar tempat tersebut hingga akhirnya dia menjadi penguasanya. Sekarang mungkin belum begitu terasa. Tetapi lihat saja nanti  kalau goa-goa itu sudah setenar Pindul.

    Banyak lagi persoalan yang ada di sana. Salah satunya masalah besar di pesisir Selatan. Masyarakat secara besar-besaran menjual tanah milik mereka. Orang-orang kaya berdatangan ke pesisir selatan untuk membeli tanah warga. Akhirnya orang-orang kaya itulah yang nantinya akan menentukan nasib Gunungkidul sekaligus merasakan hasilnya. Sementara orang asli sana hanya akan jadi penjaga hotel, penjaga pantai atau tukang sapu. Apakah semua ini disadari atau tidak oleh semua stakeholder Gunungkidul? Atau disadari tetapi dibiarkan? Entah. Mungkin kita baru akan menangis ketika nanti Gunungkidul tak lagi milik orang Gunungkidul. Tetapi milik orang-orang berduit.

    Share this
    Tags

    Must-read

    Sebagian Misi Kami Melawan Channel Maling Berhasil

    Sekitar 3 tahun Channel JejakTapak di Youtube ada. Misi pertama dari dibuatnya channel tersebut karena banyak naskah dari Jejaktapak.com dicuri oleh para channel militer...

    Rudal Israel dan Houhti Kejar-kejaran di Langit Tel Aviv

    https://www.youtube.com/watch?v=jkIJeT_aR5AKelompok Houthi Yaman secara mengejutkan melakukan serangan rudal balistik ke Israel. Serangan membuat ribuan warga Tel Aviv panic dan berlarian mencari tempat perlindungan. Serangan dilakukan...

    3 Gudang Senjata Besar Rusia Benar-Benar Berantakan

    Serangan drone Ukraina mengakibatkan tiga gudang penyimpanan amunisi Rusia benar-benar rusak parah. Jelas ini sebuah kerugian besar bagi Moskow. Serangan drone Ukraina menyasar dua gudang...

    Recent articles

    More like this