
Dalam tulisan saya berjudul “Kenapa Namanya Gunung Slamet?” saya berjanji untuk juga menulis tentang sejarah nama-nama gunung lain. Salah satunya Merapi, gunung yang memang cukup fenomenal ini.
Saya sempat terlibat perburuan nama asli Merapi sekitar tahun 2013 ketika saya ditugasi oleh kantor untuk merangkum hasil liputan letusan Merapi dari Harian Jogja dan Solopos menjadi sebuah buku yang berjudul Letusan Merapi 2010. Agar tidak lugu, saya pun mengawali buku tersebut tentang sejarah Merapi baik dari sisi ilmu pengetahuan modern, sejarah Jawa maupun mitosnya.
Sempat kesulitan untuk mencari nama asli Merapi. Setiap googling yang muncul adalah kata Merapu sebagai nama sebenarnya gunung yang termasuk dalam jajaran gunung paling aktif di dunia tersebut. Menurut saya, Merapu dan Merapi bukan hal yang berbeda. Munculnya Merapi hanyalah pergeseran lidah saja. Lama-lama dari Merapu menjadi Merapi. Kurang lebih seperti itu keyakinan saya.
Kemudian saya berinisiatif menemui seseorang bernama Hari Wijaya. Dia adalah teman SMP saya. Saya datang ke dia karena dia lulusan Sastra Jawa UGM dan banyak menulis buku tentang hal-hal yang berkaitan dengan Jawa.
Datanglah saya ke rumahnya dan akhirnya saya dapat penjelasan. Dia menyerahkan sebuah buku berjudul Sejarah Tanah Jaway yang dia tulis bersama Purwadi. Di sebuah alenia keduanya mengutip Serat Pustaka Raja Purwa karya R. Ng. Ranggawarsita yang menyinggung soal sejarah Merapi. Dari alenia tersebut, saya mendapatkan penjelasan nama asli Merapi adalah Candrageni.
Lalu siapa yang mengubahnya? Ranggawarsito menyebut nama Prabu Ajipamasa atau Prabu Kusumawicitra yang melakukan hal itu. Dikisahkan Prabu Kusumawicitra ketika masih beristana di Mamenang dan menguasai seluruh Pulau Jawa bergelar Prabu Ajipamasa. Dan bukan hanya Candrageni yang diubah namanya menjadi Gunung Merapi. Banyak yang lain. Gunung Kanda diganti nama Gunung Kendeng, Mahera diganti nama Gunung Anyar, Jamba diganti nama Gunung Bancak, Nilandusa menjadi Gunung Wilis, Udarati diganti nama menjadi Gunung Arjuna, Mahendra jadi Gunung Lawu, Candramuka diganti Gunung Marawu atau Merbabu, Gunung Soda diganti menjadi Gunung Sumbing dan Gunung Sadara menjadi Gunung Sundara. Perubahan nama itu disebut dilakukan pada tahun 919 S (tahun Jawa) atau 947 (Masehi). Inilah asal usul nama Merapi versi Ranggawarsito.
Dalam karyanya Ranggawarsita juga mengkaitkan Merapi dengan mitos. Gunung ini disebut sebagai salah satu gunung yang menjadi pusat ritual. Disebutkan pada tahun wulambi 406 S (sekitar 500 tahun sebelum diubah namanya), Batara Laksmana, Batara Satyawaka, Batara Srita atau Batara Panyarikan, mengejawantah menuju Kayuwan, menghadap kepada Resi Setmata yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu.
Saat itu pemujaan terhadap Dewa Wisnu sudah sampai pada taraf yang berbahaya. Bahkan Wisnu sudah bukan dianggap dewa tetapi dukun oleh masyarakat. Untuk itu ketiga dewa yang datang tadi meminta agar Resi Setmata berpindah padepokan. Resi Setmata akhirnya sepakat dan memilih padepokan baru di Gunung Candrageni. Gunung ini dipilih karena puncak gunung tersebut dipercaya sebagai tempat diterimanya pemujaan. Entah dari mana Ranggawarsito mendapat cerita yang terjadi 500 tahun sebelum pergantian nama itu. Bisa jadi dari Kakawin Bharatayudha karya Empu Panuluh yang memang menjadi salah satu naskah yang kerap jadi dasar dia membuat teori sosialnya.
Pertanyaannya siapa itu Prabu Ajipamasa. Meski raja namanya tidak setenar raja-raja lain seperti Ken Arok, Kertanegara, Samaratungga, Mulawarman dan sebagainya. Dalam catatan sejarah tidak banyak mencatat namanya. Tetapi jika benar mampu mengubah nama pastilah dia bukan orang sembarangan. Hanya orang dengan kategori “Wong Agung” yang bisa melakukan itu.
Berdasarkan keyakinan masyarakat Ajipamasa berasal dari Kediri dan pendiri Kerajaan Pengging. Nama Pengging masih ada sampai sekarang berada di Boyolali, Jawa Tengah. Pendirian kerajaan sekitar tahun 901 Caka sekitar tahun 979 Masehi. Hanya sebagian ahli meragukan (termasuk saya) karena angka tahun menjadi tidak ketemu. Jika dia dari Kediri maka kerajaan Kediri justru ada jauh setelah Pengging. Angka tahun tersebut Kediri belum ada. Entah apakah Kediri masih berupa daerah belum kerajaan. Tetapi yang pasti Kediri diperkirakan berdiri baru pada abad 11.
Kerajaan Pengging justru masanya bersamaan dengan Kerajaan Medang atau Mataram Hindu yang berhasil membuat mahakarya Borobudur, Prambanan dan candi-candi besar lainnya. Kerajaan Pengging disebut juga Kerajaan Mamenang. Lagi-lagi hubungan Medang dan Mamenang tidak bisa dipastikan. Apakah Memenang bagian dari Medang. Atau kerajaan berbeda tetapi satu sekutu hingga hidup berdampingan. Yang pasti ditemukan prasasti yang ditandatangani oleh kedua raja kerajaan tersebut
Ketika kemudian Mataram Hindu hijrah ke Jawa Timur di masa Empu Sendok dan menempati wilayah di kaki Gunung Kelud, Kerajaan Pengging tetap ada. Artinya tidak terkena bencana besar yang disebut Pralaya yang menjadi sebab hijrahnya Medang. Mungkin dari sinilah Pengging menjadi kekuatan tunggal hingga memiliki pengaruh besar termasuk dalam mengubah nama gunung.