More

    Makanan Ekstrem Ala Orang Gunungkidul

    on

    |

    views

    and

    comments

    ”Wong Gunungkidul cen nggragas” Kalimat tersebut sering saya dengar langsung dari orang di masa lalu ketika saya bercerita bagaimana kehidupan di Gunungkidul. Dan saya hanya tersenyum saja mendengarnya. Nggragas bisa diartikan sebagai orang yang apa saja dimakan. Bahkan hal-hal yang tidak lumrah.  Soal makanan, orang Gunungkidul memang sangat ”kreatif” bahkan ”ekstrem” Apapun dimakan.

    Jangkrik

    jangkrik
    jangkrik

    Jika di daerah lain binatang ini dijadikan makanan burung, sejak lama di Gunungkidul jadi makanan sehari-hari untuk lauk-pauk. Ketika saya kecil, kerap malam-malam berbekal lampu petromak kami melakukan kegiatan yang namanya ”nyuluh jangkrik”. Berburu serangga ini di tengah-tengah tegalan. Biasanya dilakukan pada awal-awal musim hujan. Ketika siang turun hujan tidak terlalu deras,  maka biasanya malam jangkrik keluar dari tanah. Saat itulah diburu untuk digoreng buat lauk. Sampai-sampai banyak istilah untuk jangkrik ini. Ada istilah dogol yang berarti jangkrik yang belum punya bulu. Kemudian jlabang untuk jangkrik berbulu merah dan jliteng untuk yang hitam. Jangkrik upo juga ada yakni jangkrik yang kecil-kecil. Lalu juga ada istilah gandang, yakni jangkrik jantan yang bersuara keras. Biasanya jangkrik jantan ini oleh anak-anak dipelihara di dalam gothang untuk diadu suaranya. Gothang dibuat dari bambu. Bisa ruas bambu yang diberi angin-angin dan ujungnya ditutup. Atau bisa dibuat dari bambu yang dibikin potongan kecil kecil seperti lidi kemudian disusun dengan banyak ruangan.  Jangkring jantan ini juga sering diadu antara satu dengan yang lain. Adu Jangkrik namanya. Ada juga istilah gothil, yakni jangkrik yang kakinya hilang satu.

    Kegiatan nyuluh jangkrik ini bisa dilakukan beberapa kelompok secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Jadi tidak jarang kalau pas ramai-ramainya banyak lampu petromak di tengah-tengah sawah. Terlihat indah. Dan mungkin hanya di Gunungkidul orang makan  jangkrik.

    Belalang

    Belalang
    Belalang

    Belalang juga. Dimakan untuk lauk. Berburu belalang biasanya dilakukan di tengah-tengah hujan deras atau setelah hujan deras. Anak-anak mencari belalang di pohon-pohon yang tidak terlalu besar. Seingat saya waktu itu banyak pohon turi yang dijadikan sasaran perburuan. Kalau ada belalangnya kemudian pohon-pohonnya digoyang hingga belalang terbang. Dan saat itulah perburuan dimulai. Belalang dikejar ramai-ramai. Biasanya tidak sampai 100 meter belalang sudah lelah terbang sehingga turun ke tanah dan ditangkap. Paling senang kalau ketemu belalang yang gancet atau kawin di pohon. Saat digedor pohonnya biasanya pasangan belalang ini tidak saling lepas dan terbang tetapi jatuh bersama-sama. Tinggal tangkap. Ada juga istilah untuk belalang ini. Ada yang menor artinya belalang betina. Sedangkan belalang jantannya disebut misring. Hasil tangkapan direnteng dengan lidi yang masih basah. Makin panjang hasil tangkapan makin bangga saja. Selanjutnya hasil tangkapan diserahkan ke ibu untuk dimasak. Di daerah lain pun hampir tidak ada yang makan binatang ini. Bahkan tidak hanya belalang kayu yang besar, belalang kecil pun diburu. Walang sangit, jenis belalang yang menjadi hama bagi tanaman padi pun ditangkap untuk digoreng. Untuk yang ini saya menyerah karena mencium  baunya saja sudah tidak kuat.

    Laron

    Laron
    Laron

    Laron pasti tahu. Binatang kecil yang keluar dari tanah dan berterbangan setelah turun hujan. Inipun jadi makanan orang Gunungkidul. Cara menangkapnya gampang, terutama kalau keluar malam hari. Bapak langsung menyalakan lampu petromak dan ditaruh di atas tempayan yang dibasahi. Lampu lain dimatikan. Sesuai sifatnya, laron itupun mengerubungi lampu dan terjatuh di tempayan yang basah. Tinggal ambil. Kalau keluarnya pagi hari, kami biasanya mencari tempat keluarnya laron yang biasa disebut bubulan. Di tempat itu laron keluar dan tinggal nangkap saja. Tidak perlu mengejar yang sudah terbang. Kadang berangkat ke sekolah harus mundur untuk cari laron dulu.

    Ulat

    Ungkrung Jati
    Ungkrung Jati

    Ada dua jenis ulat (kami lebih sering menyebutnya uler) yang biasa dimakan orang Gunungkidul. Yakni uler besi dan uler jati (besi dan jati adalah nama pohon). Uler besi ini berwarna hijau dan memang banyak memakan daun besi. Sedangkan uler jati ya di pohon jati. Warnanya hitam. Jika pas hama uler, daun-daun di pohon tersebut habis dimakan binatang tersebut. Dan ulerpun ditangkap untuk digoreng.

    Tetapi ada sedikit perbedaan antara uler jati dan uler besi. Uler besi biasanya dimakan saat masih jadi uler (entah masih kecil atau sudah hampir jadi kepompong). Sedangkan uler jati biasanya dipilih yang sudah siap menjadi kepompong atau yang biasa kami sebut dengan  udhel. Serta kepompongnya itu sendiri. Kepompong yang paling diburu.

    Pencarian udhel jati dan kepompong (yang biasa disebut ungkrung) lebih menantang. Karena kami harus mengorek-orek tanah di sekitar pohon jati. Sudah sifatnya, ketika hendak menjadi kepompong uler jati turun dengan liurnya ke tanah. Mereka kemudian menelusup ke semak-semak untuk ”bertapa” dalam proses menjadi ungkrung tadi. Itulah kenapa kami harus mengorek-orek tanah dengan batang kayu kecil. Saat mendapatkan tanah yang empuk kami senang sekali karena berarti di bawahnya ada uler atau ungkrung atau ada yang menyebut enthung. Kalau dapat enthung anak-anak suka bercanda dengan memegang kepala enthung hingga badannya goyang-goyang sambil bernyanyi “Thung enthung..endi lor endi kidul…(enthung-enthung mana utara mana selatan). Seneng rasanya melihat enthung yang menggeliat-geliat seperti mengikuti lagu. Padahal lagunya yang mengikuti enthung yang terpaksa bergerak karena kepalanya dipegang.

    Cuma sedihnya, ketika berangkat sekolah harus berjalan dengan hati-hati untuk menghindari uler yang turun dari pohon jati. Karena jika menempel di seragam liurnya susah sekali dihilangkan. Dan kegiatan mencari ungkrung ini dilakukan kapan saja dan di mana saja. Saat jam istirahat sekolah pun anak-anak mencari di pohon jati yang banyak ada di sekitar sekolah. Warna baju sampai gak karu-karuan. Lethek.

    Olan-olan

    Olan-olan
    Olan-olan

    Disebut juga uret. Ini binatang yang agak sulit untuk dicari. Bentuknya seperti ulat tetapi biasanya tinggal di pangkal batang pohon (banyaknya pohon turi). Sampai saat ini saya sendiri tidak begitu paham sebenarnya apa itu olan-olan. Bentuknya seperti uler (tidak berbulu), warnanya putih dan sangat empuk. Ada yang bilang sebenarnya olan-olan ini induk dari laron. Tidak tahu juga. Yang pasti memang agak sulit nyarinya.

    Puthul

    Puthul
    Puthul

    Susah juga cari istilah bahasa Indonesianya. Ini jenis serangga warnanya hitam pekat dengan sayap keras. Semacam kumbang tetapi sayapnya keras. Biasanya keluar pada senja hari. Cara menangkapnya agak unik. Binatang ini suka dengan cabai. Nah kami menjebaknya dengan menempelkan cabai-cabai di batang pohon. Biasanya di pohon kelapa. Kemudian kami menunggu agak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian ”nggguuuuuuunnnnnngggggg………nguuuuuuungggggggggg…..nguuuuuuuunggggggg…” puthul itu datang. Terbang berputar-putar di sekitar pohon kemudian hinggap di cabai yang ditempel. Tinggal nangkap dan siap digoreng. Ada juga lembing dimakan. Binatang mirip puthul tetapi warnanya hijau dan kecil-kecil

    Kalong

    Kalong
    Kalong

    Binatang simbol “Batman” inipun jadi santapan orang Gunungkidul. Dagingnya digoreng, dan konon baik buat obat (lupa obat apa). Cara berburunya cukup susah dan sejujurnya saya belum pernah melakukannya. Karena harus dilakukan pada malam hari dan menggunakan jaring besar. Jaring dibentangkan di sekitar pohon yang ada kalongnya untuk menjebak binatang itu. Selain dagingnya, tulang kalong juga digunakan untuk pipa rokok.

    Nah itu, hanya sebagian kecil dari makanan aneh orang Gunungkidul. Belum ada kajian khusus kenapa orang Gunungkidul punya kuliner yang ekstrem macam itu. Tetapi saya pernah menduga hal itu terjadi karena Gunungkidul memang sempat terjadi kekeringan dan kelaparan di sekitar tahun 1960an. Dalam kondisi lapar, orang akan cenderung untuk makan apa saja yang bisa dimakan. Mungkin (ini mungkin) hal itulah yang menjadikan mereka kreatif dalam mencari makan. Apapun dimakan. Bahkan saya sering berpikir hanya luwing yang tidak dimakan di Gunungkidul. Luwing itu binatang kaki seribu. Boro-boro dimakan, baunya saja menyengat pol.

    Dan lebih enak lagi, kuliner ekstrem itu dimakan dengan menu utama nasi tiwul. “Mangan nganggo tiwul lawuhe uler. Halah enakeeeeeeeeee…,”

    Tetapi sekarang kuliner ekstrem itu justru diburu banyak orang. Belalang dijual dari pinggir jalan hingga warung bahkan toko besar dengan kemasan yang menarik. Harganya pun mahal. Ungkrung pun demikian. Untuk belalang memang mahal kadang satu toples kecil harganya paling murah Rp20.000. Tetapi sebenarnya gak mahal juga. Karena kalau membayangkan cara menangkapnya saja sudah capek.

    I Love Gunungkidul

    Beginilah cara cari uler jati

    Share this
    Tags

    Must-read

    Sebagian Misi Kami Melawan Channel Maling Berhasil

    Sekitar 3 tahun Channel JejakTapak di Youtube ada. Misi pertama dari dibuatnya channel tersebut karena banyak naskah dari Jejaktapak.com dicuri oleh para channel militer...

    Rudal Israel dan Houhti Kejar-kejaran di Langit Tel Aviv

    https://www.youtube.com/watch?v=jkIJeT_aR5AKelompok Houthi Yaman secara mengejutkan melakukan serangan rudal balistik ke Israel. Serangan membuat ribuan warga Tel Aviv panic dan berlarian mencari tempat perlindungan. Serangan dilakukan...

    3 Gudang Senjata Besar Rusia Benar-Benar Berantakan

    Serangan drone Ukraina mengakibatkan tiga gudang penyimpanan amunisi Rusia benar-benar rusak parah. Jelas ini sebuah kerugian besar bagi Moskow. Serangan drone Ukraina menyasar dua gudang...

    Recent articles

    More like this