Siaran wayang kulit terdengar pelan dari radio yang berada di Angkringan Pak Dhe Harjo. Waktu belum begitu malam. Lakon Wisanggeni Racut yang dibawakan dalang swargi Ki Hadi Sugito baru menyelesaikan perang kembang antara Raden Gatotkaca dan Prabu Bogadenta.
Tiga orang yang duduk di angkringan itu masih asyik ngobrol sana sini. Seperti biasa, obrolan tanpa topik yang jelas. Meloncat-loncat tanpa arah. Bahkan kadang menikung dan berbalik arah dengan drastis.
“O lha iya Le. Dengar-dengar kamu mau kerja ke Arab Saudi. Bener begitu?” Pak Dhe Harjo melontarkan pertanyaan ke Suto yang baru datang.
“He he he…” Suto tertawa sambil mengambil sebungkus kacang godog di depannya kemudian menyambung kalimatnya, “Rencananya memang seperti itu Dhe. Tetapi kemudian aku batalkan.”
“Kok batal?” tanya Pak Dhe Harjo.
”Halah Dhe. Tak pikir-pikir kok ra tegel ninggal keluarga,” jawab Suto lagi.
”Kang,” Noyo yang duduk di sampingnya menyahut,”Lha rencananya ke Arab itu mau kerja sebagai apa?”
”Ya buruh bangunan,” sahut Suto singkat.
”Woalahhh…lha sama saja. Di Jogja kuli bangunan di Arab kuli bangunan,” sejenak Noyo berhenti untuk menenggak minumannya baru kemudian sambungnya,”Mending di Jogja wae kalau begitu.”
”Maksudku ya ingin menambah penghasilan No. Buruh bangunan di Arab gaji bersih bisa sampai lima jutaan. Sementara di Jogja berapa to upah buruh bangunan ki? Paling Rp40.000 perhari kepotong makan,” ujar Suto.
”Maunya sih mau mengubah nasib No. Biar gak seperti ini terus. Bosen setiap saat kok mumet mikir butuh. Setiap anak sakit bingung soal biaya dokter dan obat. Setiap bulan bingung mau bayar listrik, pengin makan yang agak enak saja susahnya minta ampun. Beli baju cuma setahun sekali. Bosan aku seperti ini terus,” sambung Suto dengan suara yang berat. Terlihat raut wajahnya menjadi suram ketika meluncurkan kalimat-kalimat itu.
Pak Dhe Harjo menarik napas dalam melihat wajah Suto sebelum kemudian berucap. ”Ya disyukuri Le. Mau bagaimana lagi.”
Noyo yang sekilas merenung pun menyambung. ”Tapi masa untuk bisa beli obat, bayar listrik, makan enak dan layak, beli baju kita harus kerja di seberang lautan dulu,” entah kepada siapa kalimat itu tertuju.
”Ya faktanya banyak yang memang seperti itu Le. Dan ini terjadi di negara yang alamnya kaya raya,” Pak Dhe Harjo yang berkomentar.
”Tapi kita juga harus jujur lho. Upah itu terus naik dari waktu ke waktu. Itu juga harus disyukuri,” saut Noyo lagi.
”Masalahnya,” Suto yang ganti berbicara,”Kenaikan itu tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan. Upah buruh memang naik tapi harga kebutuhan juga melonjak ugal-ugalan. Sama saja. Malah nombok.”
”Tapi tetap harus dipikir tenan kalau mau kerja di luar negeri Kang. Kemarin aku baca koran ada ribuan tenaga kerja Indonesia di Arab dipenjara. Bahkan kekurangan makanan. Jangan dipikir enaknya saja tetapi juga susah dan resikonya,” Noyo kembali berkata.
Pak Dhe Harjo kembali menarik napas panjang.
”Kok jenengan yo kelihatan ikut susah ta Dhe?” Suto balik bertanya ke pemilik Angkringan itu.
”Mengubah nasib memang tidak gampang di negara ini ya. Aku sendiri merasakan bertahun-tahun jual angkringan ya cuma begini-begini saja. Seperti tidak ada kemajuan,” keluhnya.
”Yang kadang bikin tidak kuat itu kerja keras tidak menjamin kita akan hidup lebih baik. Kerja banting tulang tetapi hasile tetap saja tidak mampu mengejar kenaikan kebutuhan,” sambung Noyo.
”Pekerja keras, orang pintar sering kalah dengan orang licik yang tidak punya malu. Lihat saja itu para koruptor. Pencuri duit rakyat itu. Gaji sudah besar masih saja maling. Tidak punya malu benar. Sekali-kali para koruptor itu disuruh kerja jadi buruh bangunan, tukang becak, penjual angkringan atau tukang odong-odong biar tahu susahnya cari duit. Biar roda nasib tidak gembos seperti sekarang hingga tidak bisa berputar. Yang miskin terus miskin yang kaya makin kaya. Para koruptor itu yang merusak roda nasib,” dengan nada emosi Suto melontarkan kalimat-kalimatnya.
”Ha ha ha…”Noyo tertawa terbahak-bahak,”Usul apik itu Kang. Malah kalau perlu para pejabat, anggota Dewan, polisi, menteri dan sebagainya sebelum menjabat disuruh kerja dulu jadi tukang bangunan. Biar merasakan susahnya jadi rakyat kecil sehingga tidak sewenang-wenang makan duit rakyat. Ha ha ha…Pasti bagus kalau Pak Menteri pegang pacul ngaduk semen. Berat, panas dan cuma dibayar Rp40.000. Sebulan saja suruh jadi kuli bangunan dulu sebelum jadi pejabat. Biar mikir gimana caranya menolong buruh dan tidak nyolong duitnya buruh,” Noyo masih tertawa. Sementara Pak Dhe Harjo hanya senyum kecil. ”Ngimpi!,” ujarnya pelan yang membuat bukan hanya Noyo yang tertawa, tetapi Suto pun ikut terkekeh-kekeh.
…..
Sangsaya dalu araras abyor sorot lintang kumedhap,
Titi sonya madyo ratri lumrang gandane puspita,
Hoongggg….
Karengwaning pudyanira ,
Sang dwijawara mbrengengeng,
Lir swaraning madu brangta,……..
Suluk Pathet Sanga Wantah swargi Ki Hadi Sugito tiba-tiba berkumandang. Lakon Wisanggeni Racut memasuki skuel baru. Goro-goro dan akan dipungkasi dengan perang besar sebagai puncak tumpasnya kebatilan di muka bumi.
“Wah sudah sampai goro-goro ini Dhe. Aku pulang dulu,” seloroh Suto.
“Iya.Ternyata sudah malam. Pulang bareng saja Kang,” sahut Noyo. Kedua orang itu pun beranjak pulang setelah memberesi pembayaran. Sementara Pak Dhe Harjo segera berdiri untuk bebenah diri dan juga bersiap menutup angkringannya.
”Goro-goro kok tidak ada akhirnya,” desis laki-laki tua itu pelan.
(dimuat di rubrik angkringan Harian Jogja edisi Minggu 10 November 2013)