Malioboro, The Cyber Blangkon

Kawasan Titik Nol Kilometer Jogja, Sabtu. 23 Agustus 2013 pukul 21.25 WIB…

Arus lalu lintas di jalan yang masih dianggap sebagai bagian dari Malioboro itu mulai berkurang meski masih jauh dari kata sepi. Puluhan orang duduk di bangku-bangku di depan Museum Serangan Umum 1 Maret. Beberapa patung besar karya seniman berdiri megah di wilayah tersebut.

Di depan Benteng Vredebrug yang terletak di sisi Timur jalan, beberapa anak muda dengan tampilan modis duduk bersandar pagar. Dengan berbagai gadget dari laptop, netbook hingga ipad mereka terlihat jelas tengah menembus dunia lain melalui internet. Selalu tampak seperti itu jika ada akses internet murah. Apalagi gratis. Akan dituju oleh anak-anak muda daerah ini yang kebanyakan mereka adalah mahasiswa.

Kawasan sepanjang Malioboro saat ini memang sudah dipayungi WiFi dari PT Telkom  dengan koneksi Malioboro Cyber Street sejak 21 Maret 2013 lalu. Saat ini ada ada sekitar 50 titik akses (access point) Indonesia WiFi di sepanjang Malioboro. Sedangkan untuk seluruh Jogja lebih dari 1.000 access point sudah tersedia yang dijanjikan akan menjadi 40.000 access point pada akhir 2013.

Dengan 50 titik akses internet, maka nyaris tidak ada titik kosong di jalur sepanjang kurang lebih dua kilometer ini. Daerah yang dikenal sebagai kawasan belanja, seni, sejarah dan budaya tersebut saat ini seperti menjadi sebuah gerbang besar bagi siapapun untuk melesat dan melompat dari satu titik bumi ke titik yang lain.

Tebaran cyber memang sudah ditunggu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sudah lama ingin menjadi Cyber Province. Bahkan pada 2005 DIY dengan dukungan Microsoft telah menyusun Digital Goverment Services Blueprint.Untuk mewujudkan hal itu pada 21 Maret 2013 juga ada kesepakatan Pemprov DIY dengan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) mempercepat proses Digital Goverment Services yang terintegrasi.

DIY juga semakin bersemangat kala Telkom membangun Jogja Digital Valley (JDV) pada 24 Agustus 2013 lalu dengan investasi Rp10 miliar untuk tiga tahun. Jogja Digital Valley merupakan fasilitas ruang kerja bersama yang terbuka untuk digunakan oleh siapapun. Masyarakat bisa memanfaatkan bangunan dengan segala fasilitas yang ada untuk pengembangan industri kreatif tanpa dipungut biaya.

Bahkan dalam peresmian JDV Sultan mengungkapkan mimpinya Jogja bisa seperti Silicon Valley  sebuah kawasan di Kota San Jose California AS, tempat raksasa teknologi informasi seperti Google, Facebook, Yahoo, HP, Intel, Oracle berkembang. “Jogja memiliki karakteristik seperti San Jose karena didukung oleh keberadaan lebih dari 130 perguruan tinggi. Jogja bisa menjadi semacam Silicon Valley of Indonesia,” ujar Sultan.

Tidak salah bermimpi dan tidak jarang mimpi menjadi kenyataan. Dan bisa jadi  dari Malioboro mimpi itu bisa dirintis. Sebuah penggal jalan yang lmenjadi bagian dari mahakarya Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I saat mendirikan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1775 lalu. Jalan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tata kosmos  garis lurus Laut Selatan-Kraton-Merapi.

Malioboro adalah gambaran perjalanan hidup yang dimulai dari Kraton. Alun-alun adalah gambaran dunia anak-anak tempat bermain dan pembentukan mental oleh Masjid Agung dan 99 beringin yang mengelilingi Alun-alun sebagai simbolisasi 99 nama Allah atau Asmaul husna.

Memasuki remaja dia memulai perjalanannya menyusur jalan ke arah utara. Namun baru beberapa ratus meter, dia bertemu perempatan yang saat ini dikenal sebagai titik nol kilometer. Ada pilihan apakah akan ambil jalur kiri, kanan atau lurus. Dan lurus adalah pilihan terbaik, makanya jalur ini sebenarnya bernama Margo Utama atau jalan menuju keutamaan yang kemudian diubah namanya sekarang menjadi Jl Ahmad Yani.

Memilih jalan lurus bukan berarti tanpa godaan. Manusia akan bertemu dengan Pasar Beringharjo, simbol godaan duniawi dan Kepatihan, gambaran godaan pangkat dan jabatan. Jika mampu melawan godaan, dia akan masuk ke Margo Mulya atau jalan menuju kemuliaan. Jalan yang kemudian dikenal dengan Malioboro yang berarkhir di Tugu sebagai simbol pencapaian tertinggi manusia sebagai seorang makrifat. Dari sana, manusia berhadapan langsung dengan Merapi sebagai simbol posisi tertinggi Tuhan. Inilah akhir perjalanan manusia. Bertemu Tuhan, konsep sangkan paraning dumadi yang begitu terkenal dalam filosofi Jawa.

Dan seiring ditetapkannya keistimewaan DIY, Sri Sultan HB X mengatakan ada upaya mengembalikan nama-nama jalan itu seperti semula agar nilai budaya dan filosofi terjaga. Artinya ada dua gerakan yang terjadi. Satu sisi Malioboro telah menjadi wilayah cyber, di satu sisi ada upaya menghidupkan kembali ke nilai tradisional. Kontradiktif? Tidak karena keduanya bisa berjalan bersama.

Pukul 22.10 WIB…

Malioboro kian lengang… Dari arah utara samar dan semakin jelas terdengar ”Tik tok tik tok..” suara khas tapal kuda yang membentur aspal. Sebuah andong dengan kusir bersurjan dan blangkon khas Jogja berjalan pulang. Dengan nyaman kendaraan masa lampau itu berbagi jalur dengan kendaraan era kini. Melintas di depan anak-anak muda di depan Benteng Vredeburg. Saya tersenyum kecil. ”Malioboro The Cyber Blangkon,” batin saya.