Dalam dunia jurnalistik, istilah koresponden dipakai untuk sebutan wartawan sebuah media yang wilayah liputannya di luar daerah yang menjadi basis utama media tersebut. Contoh gampangnya, jika ada media massa dengan kantor pusat di Jakarta, maka wartawan yang berada di Bandung, Surabaya, Bali, Yogyakarta dan daerah lain disebut koresponden.
Sebenarnya tidak ada perbedaan sama sekali dalam hal tugas antara wartawan dengan status koresponden dengan wartawan yang berada di kantor pusat, atau biasanya teman-teman wartawan menyebut dengan istilah wartawan. markas besar (mabes). Koresponden tetap seorang wartawan yang tugasnya melakukan reportase untuk kemudian membuat laporan dalam bentuk berita. Benar-benar tidak ada bedanya.
Bahkan dalam beberapa hal, koresponden mempunyai tugas yang sebenarnya lebih berat dari pada wartawan yang berada di Mabes. Salah satu beban yang lebih berat itu adalah wilayah liputan yang sangat luas dan lintas bidang. Biasanya, wartawan di kantor pusat sudah dikelompokan pada bidang-bidang tertentu seperti desk ekonomi, polkam, pendidikan, budaya, kriminal, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan wilayah liputan, bahkan banyak wartawan yang hanya bertanggungjawab pada wilayah liputan pada sebuah lembaga seperti wartawan istana misalnya, tugasnya ya hanya melakukan peliputan tentang apa yang terjadi di istana termasuk semua kegiatan presiden.
Namun tidak demikian dengan koresponden.Banyak media yang hanya memiliki satu koresponden di satu provinsi. Jadi bisa dibayangkan betapa luas wilayah yang harus mereka jangkau. Tidak jarang dalam sehari seorang koresponden harus menempuh jarak puluhan kilometer ketika melakukan peliputan. Sebagai contoh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang termasuk provinsi yang kecil, seorang koresponden harus meng-cover empat kabupaten dan satu kota madya. Jika dia harus meliput ke Kabupaten Gunungkidul misalnya, maka jarak yang harus ditempuh pulang pergi sudah lebih dari 100 km. Bagaimana dengan provinsi di luar Jawa yang terkenal sangat luas? tentu lebih berat lagi. Untuk liputan di lain kabupaten saja tidak jarang seorang koresponden harus menginap.
Selain itu, korespoden juga tidak mengenal desk atau bidang liputan. Berita apapun, baik ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya merupakan tanggungjawab dan wilayah mereka. Kondisi seperti inilah yang kerap kali menjadikan seorang koresponden biasanya mempunyai nilai lebih. Mereka menjadi wartawan yang benar-benar dibentuk oleh pengalaman lapangan yang sedemikian kuat. Selain itu, mereka mempunyai wawasan yang tidak terbatas pada bidang-bidang tertentu saja.
Tetapi hal yang sering kali terjadi, hampir seluruh media memberikan hak yang berbeda antara wartawan yang ada di kantor pusat dengan koresponden. Hampir seluruh koresponden adalah karyawan tidak tetap dari sebuah perusahaan media. Sehingga kekuatan hukum yang dimiliki koresponden selau dalam posisi lemah. Kalau dipecat ya sudah tidak dapat apa-apa, termasuk pesangon pun dia tidak punya hak untuk mendapatkannya. Kalaupun ada biasanya hanya sekedar uang tali asih yang jumlahnya sangat jauh dari standar pesangon yang diatur dalam undang-undang. Pernah terjadi salah seorang teman saya yang menjadi korespoden di sebuah koran nasional harus di PHK karena alasan rasionalisasi. Berapa uang tali asih yang dia dapat setelah dia menjadi koresponden di koran itu selama tujuh tahun? hanya Rp 3 juta. Itupun masih ada yang menilai lumayan daripada tidak dapat pesangon sama sekali.
Karena lemahnya posisi koresponden para koresponden menyebut dirinya sendiri tidak lebih dari sebuah baut kecil pada mobil yang tidak ada artinya bahkan kadang tidak dianggap ada oleh kantor. Perusahaan bisa dengan mudah melepas baut dan mengganti dengan yang baru kapan saja tanpa ada resiko apapun. Saya pernah hampir tidak bisa menahan emosi oleh cerita seorang teman yang bertutur saat ada rapat di kantor pusat, ada yang menanyakan tentang aspek hukum dan hak-hak yang layak bagi wartawan di daerah, namun semua koresponden dibuat tidak berdaya ketika bos mengatakan bahwa kalau mau bekerja silahkan kalau tidak masih banyak orang yang mengantri untuk mendaftar. Saya yang mendengarkan ceritanya saja rasanya sudah benar-benar muak , bagaimana teman-teman wartawan yang mengalami langsung kejadian tersebut. Begitu sepelenya profesi wartawan. Jauh dari yang sering dibayangkan orang selama ini.
Karena bukan karyawan tetap pula, maka koresponden biasanya juga bekerja dengan tanpa jaminan seperti jaminan kesehatan, asuransi tenaga kerja dan sejenisnya. Apalagi yang namanya tunjangan keluarga, jangan pernah berharap untuk mendapatkan. Sekali lagi kalaupun ada uang untuk hal-hal luar biasa yang terjadi seperti kecelakaan atau kematian, maka uang yang diterima ya lagi-lagi terserah kantor.
Seorang koresponden, teman saya yang lain, bahkan pernah menangis ketika suatu saat dia diminta untuk ke Mabes di Jakarta selama sekitar satu bulan guna membantu peliputan di sana. Saat berada di Jakarta, teman saya ini sakit dan disarankan sama teman yang lain untuk periksa ke klinik kantor karena menurut teman tadi, periksa di klinik itu akan dilayani gratis. Tetapi apa daya, teman koresponden ini harus menanggung malu. Petugas klinik ternyata tidak menemukan nama teman saya itu di daftar karyawan sehingga menolak memberikan obat gratis. Solusinya, dokter klinik hanya mau memberi resep yang harus ditebus sendiri di apotik.
Suatu hari teman saya ini juga sakit, tetapi kali ini sudah kembali ke daerah liputannya, dan harus dirawat di rumah sakit selama kurang lebih satu minggu. Suatu kebahagyaan dia dapat kabar dari kantor kalau ada uang yang dikirim guna membantu biaya perawatan. Tetapi, beberapa waktu setelah dia keluar dari rumah sakit baru dia tahu kalau uang sekitar Rp2 juta tersebut tidak berasal dari kantor, tetapi hanya merupakan iuran dari teman-teman di kantornya. “Jadi kaya anak SD yang mau melayat itu mengedarkan kotak untuk mencari sumbangan,” kata teman saya dengan nada kesal.
Karena status yang bukan karyawan, menjadikan koresponden juga mempunyai sistem penggajian yang berbeda. Biasanya, koresponden digaji dengan sistem per berita. Artinya, kalau berita yang dia kirim dimuat ya berarti dapat uang. Tetapi kalau beritanya tidak terpakai maka kerja sehari mencari dan membuat berita tidak ada nilainya alias nol rupiah. Makanya, biasanya pagi-pagi ketika mereka memegang korannya, yang dilakukan bukan melihat apa yang menjadi head line hari ini, tetapi dengan dag dig dug mencari apakah berita mereka dimuat apa tidak. Jika berita mereka tidak dimuat secara utuh, biasanya mereka mencari pada berita-berita mirip dengan berita yang dia buat dan langsung melihat di akhir berita untuk melihat apakah kode atau inisial mereka tercantum. Lumayan meski hanya dimuat satu alenia, atau bahkan kadang hanya dimuat titik komanya saja. Tetapi tetap saja ada honor dari kerja mereka kemarin. Maka di kalangan koresponden kerap muncul pertanyaan “Gimana dagangannya laku apa tidak?” yang artinya apakah berita mereka dimuat sehingga menghasilkan uang bagi mereka.
Kesan yang muncul hubungan koresponden dan media tempat dia bekerja seperti layaknya hubungan jual beli. Kita disuruh mencari barang dagangan, dan ketika barang itu tidak sesuai dengan selera pembeli maka tidak akan dibeli. Pedagang pun tidak bisa berbuat apa-apa meski untuk mendapatkan dagangan itu dia sudah mengeluarkan modal yang cukup besar.
Suatu hari, teman saya bersungut-sungut saat bercerita bahwa sehari sebelumnya ada rapat koordinasi koresponden media tempat dia bekerja dengan kantor pusat. Koresponden se Jawa Tengah-DIY, menurut teman saya tersebut dikumpulkan dan diberi ceramah. Entah sadar atau tidak, sang pimpinan sebuah radio berita ini bilang bahwa jika beritanya bagus ya akan dibeli. Kalau tidak bagus ya tidak kita beli. “Jadi hubungannya memang hubungan jual beli,” kata teman saya tadi.
Saya sendiri kerap kali menyebut koresponden ini adalah wartawan dengan manajemen tukang becak. Kalau mau mendapat uang banyak, maka kayuhlah becak kuat-kuat untuk mencari penumpang. Tetapi adalah hal yang biasa, sudah mengayuh becak ke mana-mana tetapi tetap tidak ada penumpang yang naik. Lebih memelas lagi kalau dapat penumpang tetapi tidak dibayar. Bahkan ada yang lebih ekstrim menyebut koresponden ini adalah pemulung. Mereka mengumpulkan berita-berita untuk kemudian ditawarkan kepada pengepul di kantor redaksi. Kalau redaksi mau beli ya berarti ada uang kalau tidak ya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan situasi seperti ini, maka kadang kala hubungan antara koresponden dengan redaktur menjadi faktor penting sebuah berita milik koresponden dipakai atau tidak. Meski juga harus diakui, faktor kualitas sebuah berita tetap menjadi dasar utama seorang redaktur mengeksekusi apakah sebuah berita layak muat apa tidak. Tetapi, bahwa hubungan dengan redaktur menjadi salah satu penentu berita laku apa tidak. Akibatnya, jika sudah punya masalah dengan redaktur maka persoalan serius kerap dirasakan koresponden. Berita mereka tidak dipakai, memilih menggunaka antara dan lain sebagainya. Jika sudah terjadi kondisi seperti ini, seperti biasa koresponden tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu marah sang bos reda atau ada kejadian di daerah liputan kita yang benar-benar membutuhkan tenaga kita. Kesan yang kemudian muncul, redaktur sering kali seperti menjadi tangan Tuhan untuk menentukan apakah seorang koresponden mendapatkan rejeki atau tidak.
Saya sendiri pernah mengalami hal seperti itu. Dua bulan berita saya tidak pernah dipakai redaktur yang marah kepada saya karena saya menolak melaksanakan tugas yang saya nilai tidak rasional dan penuh dengan kepentingan kelompok tertentu. Mungkin karena dianggap membangkang, akhirnya redaktur ini hampir tidak pernah memakai berita saya. Berita yang tidak terlalu penting dibuang, jika ada yang penting di wilayah saya, biasanya justru mengambil dari kantor berita. Saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa atas kejadian ini. Karena protes sama saja memperburuk situasi dan semakin menjadikan nasib saya bukanya membaik tapi pasti akan lebih buruk.
Akibatnya, dalam dua bulan tersebut honor dari berita yang dimuat tidak lebih dari Rp400 ribu. Dua bulan ekonomi keluarga kalang kabut hingga komputer dan kamera yang jadi alat utama kerja serta polis asuransi pendidikan anak dijual untuk menyambung hidup. Nelangsanya, dalam kondisi itu anak saya sakit dan saya benar-benar tidak punya uang untuk membawa dia ke dokter. Saya bersyukur kemudian redaktur ini diganti hingga masalah saya selesai dengan sendirinya. Tetapi kejadian itu menjadi hal menyakitkan yang tidak pernah akan saya lupa selamanya.
Saya sendiri tidak pernah tahu alasan kenapa koresponden mendapat perlakuan berbeda dalam hal hak, meski di sisi kewajiban nyaris tidak ada bedanya dengan wartawan yang statusnya karyawan tetap. Tetapi memang ada sisi positif dari sistem ini, salah satunya koresponden dituntut untuk kreatif dalam membuat berita. Mereka akan berusaha keras agar ‘dagangan’ mereka laku karena ini berkaitan dengan ngepulnya dapur mereka. Meski jika dilihat dari sisi ini juga ada resiko yang cukup besar seperti koresponden melakukan dramatisasi data dan fakta agar terkesan beritanya bagus dan layak muat. Dan dramatisasi ini sering menjadi penyakit utama seorang koresponden.
Tentu ada plus minusnya ketika sistem penggajian dilakukan dengan cara per berita. Boleh jadi, gaji koresponden bisa lebih besar daripada gaji karyawan tetap. Terutama mereka yang biasanya koresponden sebuah televisi swasta. Pasalnya, nilai berita di televisi cukup tinggi yakni berkisar antara Rp150-300 ribu perberita. Sehingga jika dalam sebulan ada 20 berita saja yang tayang maka penghasilan seorang koresponden televisi bisa mencapai Rp3-Rp6 juta. Sudah cukup layak untuk ukuran pekerja di Indonesia. Apalagi jika sedang terjadi peristiwa besar di daerah liputannya, maka penghasilan koresponden televisi bisa berlipat-lipat. Bahkan ketika gempa 27 Mei 2006, seorang koresponden televisi di Yogyakarta bisa mendapat penghasilan hingga Rp90 juta.
Tingginya honor bagi koresponden televisi memang cukup wajar karena tingkat tekanan wartawan media ini memang boleh dikatan paling tinggi. Dia harus benar-benar mampu bergerak cepat dalam kondisi apapun dan waktu kapanpun. Misalnya suatu peristiwa terjadi pada jam 02.00 dini hari, maka waktu itu juga dia harus segera bergerak ke lapangan. Karena terlambat bagi wartawan televisi merupakan kiamat karena dia tidak akan mendapatkan bahan visual dari peristiwa tersebut. Hal ini juga dialami untuk seorang fotografer. Berbeda dengan wartawan cetak yang masih mempunyai toleransi lebih lama karena dia tidak membutuhkan gambar.
Tetapi bagi koresponden cetak dan radio jauh dari angka tersebut,dan biasanya cukup vareatif. Ada sebuah media cetak yang memberlakukan nilai berita itu sama yakni Rp50 ribu untuk semua berita. Apakah berita itu jadi head line atau hanya keluar di kilas berita nilainya ya Rp50 ribu. Tetapi ada juga yang bervareatif tergantung dimana posisi beritanya ditempatkan yang biasanya berkisar antara Rp25-Rp70 ribu. Sedangkan untuk radio biasanya juga sama apakah berita itu tayang di frime time atau mungkin keluar di malam hari. Sama saja berkisar antara Rp15-Rp25 ribu.
Untuk media asing beda lagi, jumlahnya jelas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan media dalam negeri. Sayangnya, saya tidak tahu secara rinci untuk setiap jenis media. Tetapi ada seorang teman yang menjadi korespondn Radio Voice of Amerika (VOA), honor yang diterima untuk setiap berita adalah 50 dollar Amerika, atau sekitar Rp500 ribu. Meski untuk ukuran Amerika nilai itu tergolong kecil, tetapi dibanding dengan media dalam neger, jumlahnya sudah sering bikin iri koresponden yang lain. Meski juga diakui, tentu untuk bisa menjadikan beritanya dipakai jauh lebih berat. Tetapi katakan saja dalam sebulan ada 10 berita saja yang ditayangkan, maka penghasilannya mencapai Rp5 juta.
Sisi negatif lain dengan sistem gaji per berita ini seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, manakala berita yang dibuat koresponden tidak dipakai maka berarti keringat yang dikeluarkan boleh dibilang sia-sia. Bukannya untung, maka koresponden bisa dikatakan rugi karena dia harus mengeluarkan biaya operasional yang cukup tinggi dalam mendapat dan mengirim berita.
Mari kita lihat diskripsinya agar lebih mudah membayangkan. Hitung saja misal dalam sehari dia harus mengeluarkan Rp10 ribu untuk bensin, Rp5.000 untuk biaya warnet, Rp10 ribu untuk pulsa, Rp10 ribu untuk makan maka dalam sehari dia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp35 ribu untuk operasional atau kalau dihitung 25 hari kerja misalnya maka uang operasional perbulan mencapai sekitar Rp875 ribu. Jika kemudian biaya itu tidak dimuat maka berarti uang yang mungkin bisa disebut modal itu amblas tanpa sisa.
MIsalkan saja dalam sebulan ada 30 berita yang dimuat, jumlah ini biasanya sudah cukup bagus bagi seorang koresponden media cetak, dengan rata-rata perberita dinilai Rp60 ribu, maka pendapatan wartawan mencapai sekitar Rp1,8 juta. Jika dipotong dengan biaya operasional maka penghasilan bersih seorang koresponden hanya sekitar Rp925. Layak atau tidak, tentu tergantung siapa yang menilai.
Memang ada beberapa media yang memberikan biaya operasional. Namun jumlahnya seringkali sangat minim yakni hanya berkisar Rp200-Rp300 ribu perbulan. Bahkan ada yang tidak ada sama sekali. Sehingga seluruh biaya operasional itu harus ditanggung sendiri. Resiko berita tidak dimuat ketika biaya operasional sudah dikeluarkan adalah hal yang paling sering dialami koresponden.
Suatu hari saya pernah mendapat telepon dari kantor untuk wawancara dengan seorang pakar dari UGM. Saya sudah bilang pulsa hand phone saya habis dan mengusulkan agar wawancara dilakukan langsung dari kantor melalui telepon. Karena kalapun toh saya yang melaksanakan wawancara tetap saja harus lewat telepon karena waktu sudah mendekati malam. Tetapi redaktur yang menelepon saya ini tetap meminta agar saya yang wawancara. Uang saya waktu itu tinggal Rp30 ribu. Akhirnya yang Rp20 ribu saya gunakan untuk mengisi pulsa yang langsung habis untuk sekali wawancara. Sedangkan Rp4000 saya gunakan untuk mengirim berita di warnet. Tetapi siapa yang tidak marah dan kecewa ketika pagi saya cek ternyata berita itu tidak dipakai sama sekali. Hal seperti itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan koresponden.
Persoalannya, tidak mudah untuk bisa menjadikan sebuah berita dimuat. Karena tingkat persaingan antar koresponden sendiri cukup tinggi. Dengan jumlah space yang pasti terbatas, maka hampir bisa dipastikan setiap hari lebih banyak berita yang dibuang daripada dipakai. Apalagi seringkali halaman penuh dengan iklan yang otomatis semakin mengurangi kesempatan sebuah berita dipakai. Iklan yang bagi perusahaan merupakan berkah bagi kalangan koresponden justru menjadi malapetaka besar. Memang sulit menjadi wartawan dengan manajemen tukang becak seperti ini.
*Semoga bisa jadi bahan renungan bagi mereka yang terlalu sering protes dengan keadaan untuk mau mensyukuri yang ada. Atau bersikap atas situasi yang ada dengan sikap profesional. Dan setidaknya saya telah membuktikan untuk lebih baik bersikap daripada protes tanpa guna dan membuat orang lain sebal dan terganggu