“Yah, durian kita akhirnya berbunga” kata istriku pagi-pagi.
“Oo, ya..akhirnya…” jawabku singkat.
“Halah…Yah…kita akan menghadapi hari-hari penuh siksaan kalau nanti durian itu berbuah,” Ihza, anakku yang mendengar percakapan kami ikut berkomentar.
Ya, aku dan Ihza memang sama dalam soal durian. Tidak suka. Apalagi dengan baunya yang begitu menyengat. Kadang kalau pengin merasakan durian, aku memakan sambil tutup hidup. Ihza lebih parah lagi, bisa sampai muntah kalau mencium bau durian terlalu lama.
Beda dengan adiknya, Moza. Dia kompak dengan bundanya yang begitu hobi dengan buah itu.
Kembali ke durian yang berbunga. Kami memang memiliki dua pohon durian di belakang rumah. Umurnya hampir sama dengan rumah yang kami bangun yakni sekitar tujuh tahun. Dan inilah kali pertama pohon itu berbunga. Tujuh tahun! Sementara pohon nangka yang ada di dekatnya sudah berkali-kali berbuah lebat bahkan sekarang sudah hampir mati.
Aku sempat bertanya ke tetangga kenapa durianku lama sekali tidak berbunga. Padahal menurut tetangga,pohonnya cukup bagus dan sehat. Berbagai jawaban pun muncul “Kurang sinar matahari itu Pak. Karena tertutup banyak pohon di sampingnya” Ada juga yang bilang “Coba kasih kotoran kambing di bawah pohon, akan membantu penyerbukan.”
Dan ada juga yang bilang “Durian memang lama bos. Bahkan ada kepercayaan durian itu baru akan berbuah kalau yang menanam sudah mati.” Gila, jawaban yang terakhir sadis bener. Tetapi teori itu jelas salah karena yang menanam pohon durian di belakang rumah itu adalah Mbah Saring, orang tua yang dulu aku minta nunggu rumah sebelum kami tempati. Dan Mbah Saring sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan nyatanya, jeda antara kematian Mbah Saring dan bunga durian yang muncul cukup lama.
Setelah urusan ngantar anak selesai pagi itu, aku kemudian menuju pohon durianku. Aku amati, benar juga bunga sudah muncul. Sebagian jatuh ke tanah, dan sebagian bahkan sudah menjadi calon buah yang kecil-kecil. Aku ambil bunga-bunga yang jatuh. Aku ingat seorang teman lamaku mengatakan “Bunga durian enak lho di masak. Langka itu,” katanya. Aku tersenyum ingat kata-kata itu. “Ya jelas langka, mau berbunga saja susah minta ampun. Begitu berbunga kok dipetik untuk dimasak. Padahal kalau jadi buah harganya juga mahal,” batinku.
Semua akhirnya memang harus berubah. Meski entah butuh berapa lama. Tidak mungkin semua yang hidup akan stagnan pada satu titik. Durianku butuh tujuh tahun untuk berbunga. Pohon nangka yang ada di dekatnya akan segera mati. Anakku yang dulu lahir premature kini gendutnya bukan main bahkan menganggap sebagai sukses besar ketika berhasil dalam olah raga lompat tinggi. Moza yang dulu lahir gendut justru badannya biasa-biasa saja. Aku semakin tua, istriku semakin tua. Dan kematian bisa datang kapan saja. Lalu aku akan dibungkus kain, dikubur, dan apa yang terjadi selanjutnya tidak tahu.
“Ah lebay, soal bunga saja jadi begitu panjang” kata sisi hatiku yang lain.
Tetapi sisi batinku yang lain membantahnya. “Tidak juga, apa salahnya belajar dari sesama makluk Tuhan. Bukankah pada tumbuhan, binatang, matahari, bintang ada tanda-tanda kekuasaan Allah. Hanya sebagian besar dari manusia buta, tuli dan pekak sehingga tidak mau memikirkannya,”
Lagi-lagi ini bukan tulisan penting. Tidak mengutip kata-kata orang hebat dan besar. Hanya jeda siang hari untuk menghibur diri di tengah hidup yang semakin berat. Selamat siang…