Benarkan Profesi yang Hebat ??
Suatu hari saya menangis ketika melayat ke seorang teman wartawan yang meninggal dunia. Sesuatu yang sebenarnya jarang saya alami. Saya menangis bukan karena saya punya hubungan yang sangat dekat dengan wartawan ini, karena sejujurnya saya justru tidak terlalu mengenal beliau. Kenal sebatas sebagai teman satu profesi dan satu wilayah liputan. Yang membuat saya menangis karena ketika melayat itu saya menjadi benar-benar takut tentang masa depan anak-anak saya. Anak-anak wartawan.
Wartawan yang meninggal itu bernama ervin, nama lengkapnya saya juga tidak tahu. Beliau jauh lebih senior dari saya karena sudah puluhan tahun menjadi wartawan sebuah media cetak yang berbasis di Surabaya. Meninggal dalam umur yang belum terlalu tua yakni sekitar 50 tahun karena sakit asam urat dan diabetes yang dia derita cukup lama.
Ketika melayat itu saya benar-benar terkejut dan hampir tidak bisa percaya dengan apa yang saya lihat. Bagaimana seorang yang telah puluhan tahun menjadi wartawan, yang sering disebut sebagai sebuah profesi yang cukup hebat, ternyata secara ekonomi masih sedemikian memprihatinkan. Rumah yang ditinggalkan belum lagi selesai dengan sempurna. Bahkan kabar yang saya dengar, mas Ervin ini tidak lagi bisa membiayai pengobatan hingga akhirnya hanya dirawat di rumah hingga meninggalnya.
Di tengah-tengah melayat, saya teringat keseharian Mas Ervin. Kemana-mana menggunakan sepeda motor Honda CB warna merah yang sudah benar-benar butut dan kerap kali mogok. Dia juga selalu menggunakan sepatu kets warna merah yang tidak kalah bututnya dengan sepeda motor miliknya. Mas Ervin ini paling sedih kalau harus liputan di gedung bertingkat tanpa lift. Seringkali dia berhenti di tengah tangga untuk sekedar istirahat. Apalagi kalau pas asam uratnya kambuh, dia akan semakin tersiksa.
Lalu apa yang dia peroleh selama puluhan tahun menjadi wartawan? sebuah pertanyaan yang sulit sekali saya cari jawabannya. Lalu bagaimana dengan anak-anaknya yang masih pada sekolah? lalu saya membayangkan apa yang terjadi dengan anak-anak saya kalau tiba-tiba saya harus mati. Titik itulah yang membuat saya kemudian menjadikan saya tidak sadar menangis.
Usai melayat, saya bilang sama seorang teman yang juga wartawan, bahwa Mas Ervin adalah potret suram dari seorang wartawan. Profesi yang selama ini begitu hebat ternyata tidak menjamin kehidupan ekonomi seseorang menjadi lebih baik. Teman yang saya ajak bercerita itu sempat mengingatkan saya untuk tidak berfikiran materialistis dengan melihat segala sesuatu dari sisi uang dan kekayaan. Mungkin saja saya materialistis, tetapi apa iya tidak boleh berfikir semacam itu? wartawan juga punya anak istri yang butuh uang. Anak istri wartawan jelas tidak mungkin dihidupi dengan idealisme yang sering digembar gemborkan sebagai modal utama bagi seorang wartawan.
Cerita tentang Mas Ervin sebenarnya hanya satu kejadian pahit yang sering ditemui dan dialami oleh para jurnalis, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi keluarganya. Suatu hari saya juga melayat ke teman wartawan lain yang meninggal karena penyakit jantung. Dulunya, teman ini adalah seorang wartawan koran daerah yang terkena rasionalisasi. Karena bingung tidak tahu harus bagaimana, akhirnya teman satu ini kemudian menjadi wartawan bodrex. Dengan media yang tidak jelas apa namanya, teman ini datang dari satu acara ke acara lain untuk mencari amplop. (tentang apa itu bodrex dan amplop akan saya jelaskan di tulisan yang lain).
Saya tahu teman satu ini sangat terpaksa dan penuh beban ketika harus menjadi bodrex. Dia seringkali berusaha menghindar ketika bertemu dengan teman-teman wartawan yang lain. Pastilah dia malu dengan kondisinya sekarang ini. Sehingga memilih untuk menghindari teman-teman saat ketemu pada sebuah acara. Saat meninggal, kondisi teman saya ini memang lebih baik dari Mas Ervin. Paling tidak terlihat dari rumahnya yang sudah cukup baik. Tetapi, jika dinilai dari waktu puluhan tahun dia juga jadi wartawan, saya pikir masih jauh dari kepatutan. Anak-anaknya juga masih kecil dan tidak tahu bagaimana nasib pendidikannya nanti.
Banyak cerita menyakitkan tentang kehidupan wartawan yang dinilai sebagai profesi penting dan konon disegani banyak pihak. Suatu saat saya juga mendapat kabar yang bikin miris..Ada teman wartawan lain yang digugat cerai oleh istrinya. Setelah muncul masalah keluarga tersebut teman wartawan itu akhirnya tinggal di kos-kosan. Mobil yang biasanya digunakan kerja sehari-hari tidak lagi digunakan. Informasi yang saya dapat ternyata hampir seluruh harta yang dimiliki keluarga ternyata dibeli oleh istrinya. Mungkin karena sadar diri, teman itu akhirnya pergi dari rumah hanya dengan membawa sedikit barang-barangnya.
Untuk hal yang lebih sepele, ada seorang wartawati sepatu yang digunakan untuk bekerja sudah jebol seminggu terakhir. Dengan nada yang jauh dari bercanda teman itu mengeluh sama sekali tidak punya uang untuk membeli sepatu. Padahal teman satu ini belum lagi mempunyai anak. Dalam kondisi seperti itu teman saya ini masih bisa mengatakan nasibnya masih mending karena cuma tidak bisa beli sepatu. Temannya lebih tragis lagi, karena ada yang tidak bisa beli susu buat anaknya.
Masih berkaitan dengan wartawati, dulu teman sekantor saya sesama koresponden tapi lain wilayah harus cuti karena hamil. Agak berbeda, koresponden di media ini tidak dibayar dengan gaji perberita tetapi ada gaji tetap perbulan. Tetapi statusnya tetap bukanlah karyawan tetap. Anehnya, ketika cuti hamil itu ternyata teman koresponden ini gajinya tidak dibayarkan. Artinya, selama tiga bulan itu pula dia tidak mendapat penghasilan. Padahal bisa dibayangkan besarnya kebutuhan orang melahirkan. Tetapi bukanya mendapat bantuan, gaji justru dihentikan.
Saya sendiri harus bersyukur dengan kondisi yang ada sekarang ini. Bisa memiliki sebuah rumah sederhana, meski juga harus diakui sebagian besar merupakan bantuan dari orang tua. Karena anak-anak saya masih amat kecil dan tinggal di daerah pedesaan, saya juga memberanikan diri berhutang untuk membeli mobil seharga Rp15 juta. Bayangkan sendiri bagaimana bentuk mobil seharga itu.
Tetapi bukan berarti saya tidak pernah mengalami masa sulit menjadi seorang wartawan. Bahkan pernah suatu hari saya benar-benar tidak punya uang untuk membawa anak saya yang sakit ke dokter. Sambil menggendong anak yang sakit saya menangis dan terus berdzikir. Alhamdulillah, esok harinya anak saya malah sembuh. Karena tidak punya uang, saya juga pernah menjual polis asuransi pendidikan anak saya dan menjual komputer dan kamera yang menjadi alat utama kerja saya.
Tentunya tidak adil jika saya menyebut bahwa apa yang saya tulis adalah gambaran seluruh wartawan. Tidak semua wartawan demikian tentunya. Ada juga wartawan yang cukup makmur dengan kehidupan yang boleh dikatakan mewah. Bahkan ada teman koresponden yang bisa memiliki beberapa mobil yang dia sewakan. Tetapi tentu jumlahnya juga pasti lebih sedikit dari yang apes seperti yang saya ceritakan tadi. Meski kadang saya sendiri tidak tahu bagaimana cara menjadi wartawan yang makmur itu.
Orang sering melihat dengan menjadi wartawan semua persoalan bisa lebih gampang diselesaikan. Biasanya wartawan mempunyai banyak hubungan baik dengan orang-orang penting dari pejabat hingga pengusaha yang tentu menjadi akses tersendiri bagi wartawan. Bahkan wartawan bisa dengan mudah mendapatkan proyek dari seorang pejabat. Sekali lagi itu ada benarnya. Tetapi sekali lagi pula tidak semua bisa memanfaatkan akses itu. Bisa jadi karena pejabat yang cukup baik sehingga tidak bisa diajak kolusi, atau wartawannya yang memang tidak mau atau tidak tahu cara memanfaatkan akses itu.
Seseorang yang bukan wartawan tetapi dia tahu benar tentang wartawan justru sering curiga bagaimana seorang wartawan bisa kaya. Contoh kecil yang menggelikan pernah terjadi pada saya. Suatu hari, sebut saja Momon, salah satu karyawan bagian Humas di UGM tanya-tanya tentang mobil saya. Kebetulan waktu itu saya baru saja cerita kalau habis mengganti ban mobil seharga Rp15 juta yang saya ceritakan tadi. Momon ini tanya pada saya apa mobil milik saya, dengan iseng saya jawab Honda Jazz.
Beberapa hari berikutnya, ada teman jurnalis lain yang ketemu saya dan bercerita kalau baru saja ngomongin tentang saya dengan si Momon. Menurut teman saya, Momon mengaku terheran-heran darimana saya dapat uang untuk membeli Honda Jazz. Saya tertawa terbahak-bahak “Hanya orang bodoh percaya ada wartawan punya mobil bagus,” kata saya waktu itu.
Nasib yang belum baik tentang wartawan sebenarnya sudah bukan rahasia lagi. Bahkan kondisinya justru semakin tidak baik. Teman saya yang sudah berpuluh-puluh tahun jadi wartawan pernah cerita pada saya kalau sebelum tahun 1997, gajinya lebih tinggi dibanding dengan PNS golongan III. Tetapi sekarang, dengan golongan I pun hanya beda tipis. Artinya, selama bertahun-tahun tidak ada perubahan atau kenaikan gaji yang diterima.
Seingat saya, sejak menjadi wartawan dari tahun 2000, saya hanya sekali merasakan kenaikan gaji. Itupun karena ada penambahan tugas bagi saya. Kebetulan waktu itu koran tempat dimana saya pernah kerja butuh tenaga redaktur untuk ditempatkan di daerah, karena ada suplemen yang harus digarap daerah. Waktu itu saya yang dipilih, akhirnya mendapat tambahan gaji Rp200 ribu menjadi Rp800 ribu. Selain itu tidak pernah merasakan kenaikan gaji. Bahkan meski kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah terjadi tiga kali dengan tingkat kenaikan yang luar biasa tinggi, gaji juga tetap tidak naik.
Sesungguhnya bukan kabar baru bahwa gaji wartawan di Indonesia masih sangat rendah. Hanya sedikit media yang boleh dikatakan wartawannya makmur. Sebagian yang lain masuk kategori lumayan, dan sebagian besar yang lain masuk kategori memprihatinkan. Lalu sebenarnya berapa gaji yang layak untuk seorang jurnalis? jawaban pertanyaan ini tentu akan sangat sulit untuk dicari jawabannya. Tetapi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 2007 pernah menyampaikan pernyataan kepada pemerintah bahwa gaji minimal yang bisa dikatakan layak diterima oleh wartawan adalah Rp3,1 juta. Saya sendiri tidak tahu secara pasti angka itu didapat dari mana. Tetapi sepertinya angka tersebut cukup rasional karena AJI menyebut jumlah itu adalah take home pay, bukan gaji pokok.
Dewan Pers sendiri juga menyatakan setuju dengan angka yang disampaikan AJI tersebut. Bahkan Leo Batubara, salah satu anggota dewan pers mengatakan pihaknya akan menyusun sebuah peraturan yang mengatur soal gaji wartawan. Dan jika perusahaan media tidak mampu menggaji wartawan sesuai aturan maka akan diberi sanksi. Sebuah pernyataan menyejukan, tetapi kalau mau jujur tidak banyak wartawan yang yakin hal itu akan menjadi kenyataan. Sebuah mimpi besar jika aturan itu akan ada. Kalaupun ada, aturan itu pasti nyaris tidak akan bisa diberlakukan.
Dengan minimnya penghasilan yang diterima seorang wartawan kerap kali mencari tambahan penghasilan dengan berbagai cara. Ada yang sembari bekerja mereka berjualan pulsa, ada pula yang berjualan baju, kue atau yang paling keren biasanya jadi dosen atau membantu penulisan buku. Entah apakah itu kemudian menggangu profesionalitas seorang wartawan atau tidak saya juga tidak tahu. Seharusnya kalau mau profesional memang tidak boleh nyambi-nyambi semacam itu. Tetapi akan sangat keterlaluan jika ada larangan semacam itu sementara wartawan tetap seperti orang lain yang menginginkan kehidupan yang lebih baik.
Saya pernah dibuat sakit hati ada seorang teman yang bercerita ketika dia mengeluhkan gajinya yang sangat minim dengan atasan, jawaban yang diterima dari sang bos sangat tidak masuk akal. Si atasan bilang resiko menjadi wartawan itu ya gajinya rendah. Kalau tidak mau gaji yang rendah ya jangan jadi wartawan. Pernyataan macam apa itu? Sebenarnya problem rendahnya penghasilan bukanlah milik kelompok wartawan semata. Hampir seluruh buruh di negeri ini masih mengalami hal seperti itu. Tetapi saya pikir, jawaban yang lebih bijaksana masih lebih banyak daripada pernyataan yang sangat menyakitkan tersebut.
Tentu tidak adil jika saya tidak menyebutkan ada juga wartawan yang sukses hingga karir tertinggi sebagai jurnalis. Nama-nama besar seperti Karni Illyas, Saur Hutabarat, Andi F Noya, Suryopratomo, Goenawam Muhammad, Rosiana Silalahi, Uni Lubis, dan lain sebagainya adalah nama-nama yang berhasil mencapai jenjang tertinggi di dunia pers. Biar semakin adil, kalau saya menyebut Mas Ervin sebagai potres suram seorang jurnalis, maka orang-orang itu adalah potret cemerlang seorang jurnalis.
Jogja, 2004