Selain peristiwa gempa dahsyat yang terjadi 27 Mei 2006, erupsi Merapi pada tahun tersebut sebenarnya menjadi fenomena yang unik di kalangan wartawan. Bukan karena dahsyatnya bencana yang terjadi, tetapi erupsi gunung teraktif di dunia tersebut telah memunculkan sosok fenomenal ialah Maridjan. Juru kunci Merapi ini namanya benar-benar melambung, bukan saja pada skala nasional, nama Maridjan pun begitu populer di tingkat internasional.
Kenapa Maridjan begitu fenomenal bersamaan dengan erupsi Merapi kala itu? banyak yang tidak tahu tentang hal itu. Kenapa media begitu kuat menyoroti dia? mungkin tulisan singkat ini akan sedikit menggambarkan proses muncul dan besarnya nama Maridjan.
Erupsi Merapi 2006 memang menarik perhatian banyak pihak. Salah satu hal yang mendasari kenapa erupsi ini harus diwaspadai karena gunung di perbatasan DIY Jawa Tengah ini agak melenceng dari kebiasaannya. Biasanya, Merapi akan memuntahkan isinya setiap 2,5 tahun sekali. Namun kali ini Merapi sudah ‘tidur’ selama lima tahun, atau artinya dua kali lipat dari siklusnya. Dengan waktu tidur dua kali lipat, maka pasokan material yang ada di perut Merapi dipastikan juga lebih banyak.
Artinya, jika muntah maka material yang keluar juga akan berlipat banyaknya. Sehinggga tingkat resikonya pun juga lebih besar. Perhatian juga lebih besar, karena adanya kepercayaan bahwa 2006 merupakan peringatan 1000 tahun erupsi besar Merapi. Meski sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang secara nyata menyebutkan bahwa Merapi 1000 tahun sebelumnya meletus dahsyat. Patokannya hanya prasasti Canggal yang menyebutkan kehancuran Kerajaan Mataram kuno hingga kerajaan ini pindah ka Jawa Timur.
Padahal, dalam prasasti itu hanya disebutkan terjadi sebuah pralaya atau bencana besar. Meski demikian banyak orang percaya 2006 adalah peringatan 1000 tahun erupsi besar Merapi sehingga kemungkinan besar hal itu akan terulang lagi. Setelah proses erupsi, fenomena baru yang juga menarik perhatian adalaha bahwa erupsi 2006 berbeda dengan erupsi yang terjadi beberapa kali sebelumnya.
Arah luncuran material dan awan panas kali ini mengarah ke selatan dan tenggara. Yakni masuk ke hulu Kali Gendol yang mengarah ke Kabupaten Sleman. Arah ini memang berbeda dengan tradisi Merapi yang biasanya memuntahkan material ke arah barat daya atau masuk ke Kali Krasak. Jalur ini disebut sebagai jalur tradisional Merapi yang merupakan jalur aman karena tidak ada penduduk di daerah tersebut. Sesekali Merapi juga meluncurkan material ke arah barat laut atau mengarah ke Muntilan.
Jarang terjadi ke arah Selatan, bahkan ada yang percaya erupsi ke arah selatan itu tidak pernah terjadi. Namun Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) sendiri membantah bahwa erupsi ke arah selatan tidak pernah terjadi. Adanya geger boyo yang merupakan sisa material erupsi tahun 1911 merupakan bukti bahwa luncuran material pernah ke arah Sleman.
Hanya memang dalam beberapa dekade jalur ini tidak pernah dipakai lagi oleh Merapi. Faktor-faktor itulah yang kemudian menjadikan Merapi menjadi perhatian banyak pihak, khususnya dari media massa. Selama berbulan-bulan, hampir semua media memusatkan perhatian ke gunung ini meski sempat jeda karena gempa yang menggunjang.
Namun kalangan jurnalis sebenarnya mempunyai banyak kendala dalam melakukan running news terhadap Merapi. Sekadar diketahui, ketika status Merapi dinaikan dari waspada ke siaga, konsentrasi wartawan mulai diarahkan ke Merapi hingga masalah ini menjadi isu besar di hampir semua media. Konsekuensinya, wartawan harus mampu membuat berita tentang Merapi setiap hari. Inilah yang menjadi awal persoalan. Status Siaga berlangsung selama satu bulan, dan dalam waktu itu pula harus ada berita setiap hari. Yang terjadi kemudian wartawan mulai kehabisan isu tentang apa yang harus dibuat.
Mulai terjadi muncul berita-berita tidak sehat terkait Merapi. Salah satunya berita tentang turunnya monyet ke pemukiman penduduk yang seolah-olah menjadi tanda bahwa letusan Merapi sudah dekat. Padahal, sesungguhnya monyet di tempat pemukiman di kawasan Merapi adalah hal yang biasa terjadi. Dalam kondisi benar-benar kehabisan ide dan angel berita inilah wartawan mulai memunculkan tokoh Maridjan. Bahkan saya sempat jengkel dengan pemberitaan media yang justru mulai mengarah ke hal-hal irasional bahkan klenik terkait Merapi. Pernah suatu saat teman saya habis bertemu Mbah Maridjan bilang bahwa off the record juru kunci Merapi ini mengatakan erupsi akan mengarah ke Magelang. Sebuah ramalan yang akhirnya salah total.
Keringnya berita akibat lambatnya perkembangan aktivitas Merapi benar-benar menjadikan Maridjan sebagai sumber berita yang diburu. Hampir setiap hari rumahnya didatangi puluhan wartawan. Dan kondisi ini semakin diperparah dengan turunnya wartawan-wartawan luar DIY yang jujur saja, mereka tidak menguasai lapangan, budaya serta ciri-ciri Merapi tersebut. Banyak wartawan asli Yogyakarta yang benar-benar dibuat jengkel dengan aliran berita yang semakin tidak jelas. Tetapi apa daya, Maridjan sudah muncul di media massa sehingga harus terus dimunculkan sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Hampir setiap langkah Marijan menjadi hal yang menarik untuk diberitakan. Saat status meningkat, Maridjan justru naik gunung yang katanya untuk berkomunikasi dengan Merapi. Selain itu beberapa kali Marijan melakukan ritual seperti topo mbisu atau jalan kaki dengan tidak berbicara mengitari kampung. Jujur saja, saya sangat menghargai segala bentuk doa dan ritual dengan tujuan kebaikan. Hanya pemberitaan media massa kala itu sudah berlebihan dan menyeret pemikiran khalayak dari rasional ke irasional.
Tetapi sekali lagi apa daya, media tetap menuntut ada berita sementara Merapi tetap masih anteng-anteng saja sehingga berita menjadi sangat sulit ditulis. Maridjan tetap menjadi pilihan utama hingga kesanya kemudian Maridjan menjadi tokoh kunci Merapi. Aspek rasional sedikit demi sedikit mulai terkikis. Puncaknya, ketika Maridjan secara tegas menolak perintah Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk mengungsi. Alasannya yang saya tangkap ada dua. Pertama, dia adalah juru kunci yang harus menjaga Merapi dalam kondisi apapun dan tidak diperbolehkan lari.
Alasan pertama ini sangat masuk akal dan boleh dikatakan sebagai bentuk tanggungjawabnya. Meski saya lebih suka jika tugas utama Maridjan adalah menjaga orang yang ada di sekitar Merapi. Bukan menjaga Merapi (menjaga Merapi dari apa??) Tetapi alasan kedua yang benar-benar mengagetkan banyak pihak yakni bahwa yang memberi perintah untuk mengungsi adalah Sultan HB X, sementara yang memberi amanat kepadanya untuk menjaga Merapi adalah mendiang HB IX. Hal yang membuat kalangan wartawan,khususnya wartawan yang wilayah aslinya Jogja bersyukur adalah sikap Sultan dalam menghadapi masalah ini.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika Sultan menanggapi pernyataan Maridjan waktu itu dengan emosional. Tentu menjadi tidak lucu dan tidak mutu sama sekali. Sikap mbalelo Marijan inilah yang kian melambungkan nama Maridjan. Masyarakat semakin yakin Maridjan tokoh luar biasa yang benar-benar tahu seluk beluk Merapi. Tanggal 13 Mei 2006 status Merapi akhirnya ditingkatkan menjadi awas. Dan pada saat itulah perhatian wartawan kembali ke puncak Merapi. Keluarnya lava pijar dan wedhus gembel menjadikan Maridjan secara perlahan ditinggalkan. Maridjan nyaris tidak lagi muncul dalam pemberitaan dalam status ini. Wartawan sudah mempunyai berita yang lebih menarik.
Namun Maridjan sudah terlanjur menjadi sosok yang fenomenal. Sukses menjadi bintang iklan dan pergi ke mana-mana. Dia pun disebut sebagai ‘Presiden Merapi’. Benar-benar menjadi terkenal. Namun seperti banyak orang yang kerap kali tidak sadar bahwa dia dibesarkan media, Maridjan pun tak ingat itu. Beberapa waktu lalu kalangan jurnalis dibuat jengkel dengan tulisan di pintu rumah Maridjan yang berbunyi “Tidak Melayani Wartawan”. Silahkan wartawan tersenyum kecut
. ***26 Oktober 2010 Merapi meletus. Awan panas dan material menerjang dusun dan rumahnya. Mbah Maridjan tetap tidak mau mengikuti perintah mengungsi hingga akhirnya meninggal di rumahnya. Yang sedikit menjengkelkan, ada belasan orang yang juga tewas di rumah itu. Tidak tahu, apakah mereka di tempat itu benar-benar terjebak atau memang merasa yakin tetap aman bersama Mbah Maridjan.