Tragedi Pendet, lagi-lagi hanya bisa marah

Melakukan satu kali kesalahan adalah wajar. Belajar dari kesalahan agar tidak terulang merupakan tindakan bijaksana dari orang cerdas. Namun membiarkan kesalahan yang sama terjadi berulang-ulang adalah ciri dari orang bodoh. Terlebih lagi ketika kesalahan yang sama muncul, yang dilakukan hanya marah dan menyalahkan orang lain saja.

Dan mari melihat ‘tragedi’ Tari Pendet yang baru saja terjadi. Mari kita telaah secara jujur, dari pilihan sikap di atas, di mana posisi kita.

Klaim Malaysia terhadap Tari Pendet jelas merupakan kesalahan. Sesungguhnya wajar jika orang Indonesia melontarkan sumpah serapah pada negeri tetangga yang memang keterlaluan dengan mengklaim seni dan budaya orang menjadi miliknya tanpa alasan yang mendasar.

Tetapi semua pasti tahu, bukan kali ini saja Malaysia mengklaim budaya dan seni Indonesia. Angklung, batik, Reog hingga lagu Rasayang Sayange sudah terlebih dahulu mengalami nasib yang sama. Dan dari banyak kejadian sama tersebut reaksi orang Indonesia sama. Hanya marah dan mengumpat.

Sungguh aneh, ibarat sebuah rumah, kita bisa kecurian berkali-kali oleh pencuri yang sama. Secara logika sederhana, jika pertama kali rumah kita kemasukan pencuri, seharusnya kita segera memperkuat kunci pintu dan jendela agar rumah kita lebih aman.

Tetapi realitasnya pencuri terus saja bisa membobol rumah dan mengambil barang milik kita. Jika kondisinya seperti ini, pertanyaannya, pencurinya yang sedemikian hebat atau pemilik rumah yang memang teledor. Setiap kali terjadi pencurian, pemilik rumah selalu marah-marah dan mencaci maki. Pencurinya menjadi sasaran utama kemarahan. Tapi setelah itu tidak dilakukan upaya agar jangan sampai maling bisa masuk kembali ke rumah. Mencari kesalahan orang lain atas masalah yang menimpa kita memang pekerjaan gampang dan mengasyikkan.

Ketika Angklung diklaim, orang-orang marah dan penuh semangat bertekat akan melindungi seni yang lain. Seni asli Indonesia harus dipatenkan agar jangan diambil orang lain. Seiring waktu kemarahan itu hilang. Orang pun seakan lupa akan kejadian itu.

Hingga muncul kabar batik juga dipatenkan Malaysia, lagi-lagi kita marah besar. Dan kita tetap hanya marah ketika Malaysia selanjutnya juga mengakui Reog, dan Rasayangsayange jadi miliknya. Kita tetap terus saja marah.

Padahal sudah terbukti, Malaysia tidak pernah takut dengan kemarahan kita. Kenyataanya, negara ini masih mencoba-coba untuk mengambil Pendet meski kemudian dikatakan sebagai kesalahan dalam produksi iklan wisata mereka. Dan kali inipun kita hanya bisa marah.

Kenapa kita seakan hanya bisa marah? Sementara kita terkesan tidak pernah serius dalam menjaga apa yang menjadi milik kita. Mari akui secara jujur, benarkah kita sudah benar-benar mencintai dan merawat seni budaya asli Indonesia dengan sebagaimana mestinya? Butuh keberanian untuk menjawab secara jujur pertanyaan tersebut.

Lihatlah nasib tobong ketoprak yang kian hari kian tak jelas nasibnya. Setiap pentas, hanya puluhan orang yang menghadirinya. Bandingkan dengan tempat hiburan malam yang selalu riuh oleh pengunjung. Inikah bentuk cinta kita kepada seni asli Indonesia?

Kita marah ketika batik diklaim negara lain, tapi lihatlan di Malioboro, seberapa banyak orang yang hilir mudik menggunakan batik. Bandingkan dengan orang yang menggunakan hot pants. Lebih banyak mana?

Atau perhatikan televisi, seberapa banyak siaran tentang seni tradisional dibandingkan acara-acara lain yang mengadopsi seni orang lain? Dan kalaupun ada acara seni tradisional, seberapa banyak yang bisa bertahan untuk tidak segera memindahkan chanel televisi mereka? Sekali lagi butuh sebuah kejujuran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Kita boleh saja marah kepada Malaysia. Namun itu tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana menjaga apa yang kita miliki dengan penuh cinta. Merawatnya dengan sungguh-sungguh. Jika itu dilakukan, para pencuri pun akan berpikir beribu kali untuk masuk ke rumah kita. Boleh saja menuding. Asal tetap ingat, setiap kali kita menuding, satu jari mengarah ke yang dituding, sementara tiga jari mengarah ke kita.