Gula, Keraton Boko & jin gundul

Beberapa minggu terakhir telinga saya bosan mendengar keluhan tentang tingginya harga gula yang sudah keterlaluan menembus Rp10.000 per kilogram. Tiga hari yang lalu, tanpa direncana sama sekali saya dan beberapa teman melihat-lihat Keraton Boko di kawasan Prambanan.

Memang tidak ada hubungannya antara harga gula dan Candi Boko. Tetapi ada kesamaannya, dua hal itu menunjukkan kehancuran sebuah peradaban dan kemegahan.

Seperti yang sudah-sudah jika melihat reruntuhan bangunan kuno yang sedemikan besar seperti halnya Candi Boko, pertanyaan pertama yang muncul adalah bagaimana dulu cara membuatnya. Bagaimana beratnya mengangkut ribuan kubik batu padas ke atas bukit kemudian menatanya menjadi sebuah bangunan yang pasti dulu begitu megah.

“Pasti dulu dibantu kekuatan jin,” kata seorang teman. Saya akui itu bukan jawaban rasional, tetapi jawaban paling mudah untuk dimunculkan daripada pusing memikirkan cara yang sesungguhnya. Karena juga harus diakui jika dipikir secara rasional, sangat sulit membuat bangunan itu sekitar 1.200 tahun yang lalu.

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, bagaimana sebuah bangunan megah, yang pasti mencerminkan hebatnya peradaban itu akhirnya bisa luluh lantak. Pastilah bukan alasan sembarangan yang bisa menghancurkannya. Bisa jadi karena faktor ekstern yang begitu hebat atau pembusukan di dalam diri peradaban itu sendiri yang juga dahsyat sehingga akhirnya bangunan peradaban itu roboh dan tinggal menjadi sejarah.

Lalu bagaimana dengan gula membuat orang pening seperti sekarang ini? Seperti halnya Boko, gula menjadi bagian dari kebesaran negeri ini yang sudah roboh. Dulu, negeri ini dikenal begitu hebat dalam produksi gula. Namun, saat ini sebaliknya. Negeri agraris ini justru harus mengimpor gula agar rakyatnya bisa menikmati manisnya makanan dan minuman. Inilah sebuah kehancuran.

Logika rasional sulit untuk mencari alasan hancurnya dunia gula di Indonesia. Untuk menanam tebu sebagai bahan dasar gula bukan masalah. Indonesia punya jutaan hektare lahan. Lalu apa?

Sesungguhnya persoalan gula hanya sebagian kecil dari sekian banyak keganjilan yang begitu subur di negeri ini. Hampir tidak ada kebutuhan pangan yang bisa dipenuhi sendiri. Beras impor, kacang impor, kedelai impor, buah impor, daging impor. Apa yang tidak impor.

Sungguh-sungguh ganjil. Kalau Indonesia negara kecil macam Singapura yang lahannya hanya cukup untuk permukiman, masuk akal semua kebutuhan impor. Lha, kita adalah negara agraris yang suka gembar gembor lahannya subur. Apa tidak bisa menanam tebu, kacang, padi, jagung, kedelai dan sejenisnya?

Ini sungguh-sungguh tidak rasional. Jangan-jangan jawabannya seperti pertanyaan bagaimana caranya Keraton Boko, Borobudur dan Prambanan dibangun. Yakni dibantu kekuatan jin karena sulitnya mencari jawaban yang rasional.

Ah, kalau untuk masalah keganjilan sekarang jawabannya adalah karena para jin, mungkin justru masuk akal. Karena harus diakui jika semua kebutuhan dilakukan dengan impor, akan ada yang justru semakin gendut dan menggelembung pundi-pundi uangnya. Dengan impor, mereka mendapatkan komisi dan keuntungan yang besar.

Mereka itulah jin-jin gundul yang secara pelan menghancurkan negeri ini kian rapuh, tidak punya jati diri hingga sering diremehkan oleh negara lain. Sendi-sendi bangunannya juga kian keropos. Jadi jangan pernah yakin Indonesia tidak akan seperti nasib Candi Boko, luluh lantak jika kondisi ini terus dibiarkan.

Kebetulan, kemarin malam, untuk kesekian kalinya saya menonton film Tha Last Samurai di sebuah stasiun televisi swasta. Saya begitu senang dengan sebuah kalimat terakhir yang diucapkan Kaisar Jepang. “Boleh saja kita menjadi bangsa yang maju dan modern. Tetapi jangan pernah melupakan siapa kita dan dari mana asal kita”

September 2009