JEJAK PESAWAT PERTAMA TNI AU: LEGENDA CUKIU

JEJAK PESAWAT PERTAMA TNI AU: LEGENDA CUKIU

NEKAT DAN MENGGELIKAN
Pesawat Cukiu di Lanud Bugis pada awal Perang Kemerdekaan
Pesawat Cukiu di Lanud Bugis pada awal Perang Kemerdekaan

Dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama tanggal 17 Agustus 1946, para anggota teknik udara Pangkalan Udara Bugis bermaksud membuat suatu acara, yaitu menerbangkan “Pesawat Merah Putih” di atas Kota Malang. Tetapi muncul permasalahan, “Siapa yang akan menerbangkannya”, sedangkan penerbang-penerbang Jepang telah kembali ke negerinya dan anggota teknik yang pernah mendapat kesempatan  belajar terbang dari Jepang, belum berani menerbangkannya yaitu Soekarman, Moedjiman, Idung Soekotjo, Djauhari dan AS Hanandjudin.

Tetapi mereka telah bertekad pada hari itu pesawat Merah Putih harus berada di Angkasa Indonesia.  Kalau Sulistijo adalah seorang penerbang, tidak demikian halnya dengan Soekarman.  Soekarman adalah seorang teknisi pesawat.   Penunjukan Soekarman sebagai salah satu penerbang pesawat Cukiu berbendera merah putih pertama tersebut cukup menggelikan.

Setelah mereka berunding, ternyata Soekarnan dan Sutarmadji bersedia untuk menjadi sukarelawan (bisa disamakan dengan bunuh diri) untuk menerbangkan pesawat yang sama sekali belum mereka kuasai.    Alasan lain dia mempunyai kelainan di mata serta belum mempunyai keluarga, sehingga tidak akan merepotkan teman-teman jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.  Waktu itu teman-temannya pun telah bersedia untuk menyiapkan semacam dana “pensiun” yang diambilkan dari gaji masing-masing dengan cara di potong sebesar Rp 2,5,- setiap bulan selama masih berdinas di penerbangan.

Pada waktu itu tanggal 17 Agustus 1946 dipagi hari seluruh anggota Pangkalan Udara Bugis telah siap di tempat yang telah di tentukan.   Kemudian waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB menderulah dua pesawat Cukiu dengan nomor registrasi 001 dan 003 yang diawaki Penerbang Sulistijo dengan juru teknik Supardi dan  Sukarnan dengan saudaranya (Sudarmadji)  yang hendak melakukan demonstrasi terbang.   Tak lama kemudian  pesawat take off meninggalkan pangkalan Udara Bugis  tanpa mengalami kesulitan, selanjutnya melakukan “mission” untuk mengobarkan semangat rakyat Jawa Timur umumnya dan Malang khususnya serta menanamkan rasa cinta dirgantara.

Apa yang telah dilakukan oleh pesawat-pesawat Cukiu ini sangat mendebarkan hati yang melihatnya, karena mereka melakukan demonstrasi terbang rendah di atas alun-alun dan pasar Malang, bahkan karena begitu rendahnya  seakan-akan hampir saja menyambar terutama pucuk atap gereja yang tergolong gedungnya tinggi.   Setelah pesawat kembali ke Lapangan Udara Bugis dan waktu akan mendarat tampaknya penerbang mengalami kendala di pesawat, hal itu terbukti bahwa pesawat lama berputar-putar saja di atas serta belum ada tanda-tanda akan mendarat.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran anggota yang berada di bawah, barangkali dikarenakan kehabisan bahan bakar pesawat akhirnya terpaksa mendarat.   Pendaratan salah satu dari dua pesawat tersebut tidak berjalan mulus, pesawat terjungkir di landasan sehingga pesawat terpotong jadi tiga bagian dan motornya terlepas.   Sementara penerbang dalam keadaan selamat namun sedikit mengalami luka-luka ringan.

Tiga buah pesawat Cukiu  di Lapangan Udara Kemayoran tanggal 23 April 1946  membawa pimpinan TRI ke perundingan APWI
Tiga buah pesawat Cukiu  di Lapangan Udara Kemayoran tanggal 23 April 1946  membawa pimpinan TRI ke perundingan APWI

Hal ini sangat menggembirakan dan mengharukan teman-temannya setelah mendarat dan penerbang terlihat aman dan selamat, kemudian segera secara bersama-sama teman-teman yang berada di bawah segera mengeluarkan kedua pilot dari dalam pesawat, dan mereka berdua dianggap sebagai “Pahlawan Teknik Udara Malang”.

Salah satu pesawat Cukiu bersama pesawat  Cureng  dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Udara Bugis Malang di kirim ke Pangkalan Udara Panasan Solo.  Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Soejono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik.    Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta api.  Sesampai di Solo ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946.   Setelah berhasil diperbaiki, dilakukan test flight yang dilakukan oleh seorang penerbang RAF (Tan Gie Gan) yang kebetulan ada di sana. Test flight dilakukan dua kali.  Test flight pertama di atas kota Solo tidak berjalan dengan baik, tetapi setelah diadakan perbaikan test flight kedua berhasil dengan baik.

Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng, Cukiu dan Cureng menuju pangkalan  Udara Cibeureum Tasikmalaya.   Kemudian melanjutkan  penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten, setelah mendarat di Gorda Pesawat Cureng ditinggalkan karena mengalami kerusakan mesin.   Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung.  Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda.  Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin.   Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.

Pada tanggal 26 September 1946, sebuah pesawat Cukiu jatuh di Gowongan Utara (Yogyakarta) yang mengakhibatkan meninggalnya Penerbang Opsir Udara Husein Sastranegara beserta Juru Teknik Rukidi.   Pada saat itu, Pesawat Cukiu yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara mengemban misi test flight di kota Yogyakarta.   Rencana awal bahwa Pesawat tersebut akan digunakan untuk  mengangkut Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Syahrir menuju Malang.   Namun beberapa saat setelah take off dari Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, pesawat  mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Utara Yogyakarta.

Pada tanggal 3 Oktober 1946 peristiwa tidak terelakkan kembali, terjadi sebuah Pesawat Cukiu jatuh di Ambarawa yang menyebabkan meninggalnya Kadet Udara I Wim Prajitno dan Kadet Udara I Soeharto.

Pada tanggal 5 oktober 1946, pada hari Angkatan Perang tiga buah pesawat Cukiu mengudara untuk menyebarkan pamflet dan mengadakan pemoteran udara.  Adapun awak pesawat yang menerbangkan pesawat tersebut adalah Dr. Abdulrachman Saleh dengan  seorang anggota pemotret, Soejono dan Arjono, Iswahjudi.   Pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Soejono jatuh di Sagau, akan tetapi dengan peristiwa itu tidak memakan korban karena penerbang dan pemotret keduanya selamat.

Salah satu pesawat cukiu yang sudah menjadi milik RI yang berlambangkan merah putih, pernah berubah identitas seperti bendera Jerman. Waktu itu sekitar  tahun 1946/1947 sebuah pesawat cukiu terbang ke Sumatera dan mendarat disebuah lapangan terbang Sungai Buah dekat Palembang.  Pesawat itu diterbangkan oleh Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma. Karena bahan bakarnya habis dan persediaan bensin udara tidak ada, terpaksa nongkrong untuk beberapa waktu di Palembang.  Kesempatan itu oleh Yacoeb dipergunakan untuk overhaul  terhadap pesawat yang kehabisan bahan bakar  tersebut.

Setelah itu M. Jacoeb mendapat ilham untuk merubah tanda pengenal  merah putih bulat menjadi gambar garuda hitam, mirip dengan symbol Negara Jerman.  Tujuannya adalah untuk mengelabui lawan agar dapat menembus blokade udara pihak Belanda yang sangat ketat.  Kita mengelabui Belanda dengan membuat identitas gambar mirip dengan negara lain di Eropa, yaitu Jerman.   Kalau melihat pesawat terbang Jerman,  Belanda diperkirakan tidak akan menyerang.  Kemudian setelah ada bahan bakar, pesawat tersebut diterbangkan kembali oleh Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma untuk kembali ke Yogyakarta.

 

Sumber: TNI AU