Menurut Kementerian Pertahanan AS pada saat itu, potensi nuklir taktis Uni Soviet berkali-kali lipat lebih tinggi dibanding milik NATO, dan kemunculan Su-24 sebagai kendaraan yang mampu mengangkut senjata nuklir semakin memperparah ketimpangan di panggung militer Eropa.
Sementara itu, pesaing Su-24 dari Amerika, F-111, dikerahkan dalam Perang Vietnam. Namun, debut pesawat tersebut gagal. Pesawat yang digaungkan sebagai pesawat pengebom yang “tak bisa ditembak jatuh” tersebut kalah telak saat diserang oleh rudal anti-pesawat S-75 yang telah usang pada penerbangan pertamanya. Namun secara umum, saat perang berakhir, F-111 dianggap sebagai pesawat pengebom yang paling efektif dibanding pesawat Angkatan Udara AS lain yang dikerahkan.
Su-24 berhasil melewati masa perang. Namun, penggunaan pesawat ini dianggap kurang menguntungkan. Su-24 dinilai tak efektif menyerang teroris yang bersembunyi di pegunungan dan pedesaan. Sistem bidik pesawat ini awalnya dirancang untuk menyerang posisi fasilitas teknis pasukan NATO di wilayah dataran. Oleh karena itu, pesawat tidak bisa membedakan target kecil dengan latar belakang pegunungan.
Su-24 digunakan secara intensif selama perang di Chechnya dan dalam peperangan di Osetia Selatan pada 2008. Laporan resmi Rusia tidak menyebutkan kekalahan yang dialami Su-24 pada perang di Osetia, namun beberapa ahli mengatakan dua pesawat jenis ini ditembak jatuh dalam perang tersebut.
Kini, Angkatan Udara Rusia memiliki 124 unit Su-24 yang telah dimodernisasi dan secara bertahap akan digantikan oleh Su-34. Su-24 rencananya akan benar-benar digantikan sepenuhnya pada 2020.