Tak Ada Alasan untuk Kagum dan Terkejut dengan Kemampuan Rusia

Tak Ada Alasan untuk Kagum dan Terkejut dengan Kemampuan Rusia

rusia suriah7Pernyataan komandan Amerika ini juga terkesan membingungkan. Inggris berhasil mengirimkan pasukan tempur amfibi ke Falklands dengan jarak 8.000 mil pada tahun 1982. Rusia hanya mengirimkan sejumlah kecil tentara, bersama dengan sekitar 30 pesawat  dengan hanya melintasi jarak 2.500 mil dari rumah mereka. Jika ini dilakukan Ekuador dan Selandia Baru mungkin ini menjadi sebuah prestasi. Untuk kekuatan militer yang besar dan kuat seperti Rusia, itu bukan prestasi yang luar biasa. Tentu tidak bisa dibandingkan pengiriman ratusan ribu tentara AS yang dikirim ke Vietnam, Irak dan Afghanistan. Ini hanya ratusan personel dan puluhan pesawat. Kenapa harus kagum?

Ini bukan untuk memuji atau merendahkan kemampuan militer Rusia, juga untuk membandingkan mereka dengan teknologi Amerika dan Barat. Ini hanya untuk menunjukkan bahwa Rusia tetaplah negara dengan kemampuan militer tinggi. Rusia bukan kelompok negara ketiga tetapi bangsa dengan belanja militer tertinggi ketiga di planet ini. Setelah membajiri miliar dollar pada angkatan bersenjatanya jadi wajar mereka mampu melakukan hal-hal yang sebenarnya biasa itu.

 

Jika kekuatan militer Rusia dipuji karena di Suriah tidak mengalami kegagalan seperti di Chechnya dan Georgia, maka juga harus dipertimbangkan bagaimana keadaan militer AS setelah Vietnam. Atau invasi Grenada pada tahun 1982, di mana tentara AS harus berjuang keras untuk mengatasi insinyur konstruksi Kuba yang perkasa. Atau bayangkan jika China menyatakan terkejut dan kagum kepada militer Amerika karena tidak dikalahkan oleh tentara Saddam Hussein pada tahun 1991. Biasa saja kan? Tidak ada yang aneh.

Jangan-jangan, kekaguman ini justru bentuk rasa iri?. Ketika NATO berjuang untuk menangani agresivitas Rusia di Eropa Timur, justru Rusia dengan santainya mengirim pasukan ke negara lain. “Sekali lagi Rusia adalah kekuatan militer besar. Dan dia harus diperlakukan seperti itu,” tulis Michael Peck, seorang penulis pertahanan dan sejarah yang berbasis di Oregon di National Interest Rabu 4 November 2015.