Perubahan Sikap Erdogan

Mengapa pasukan paramiliter Kurdi menjadi target serangan udara Turki? Viktor Nadein-Rayevsky, peneliti senior di Institut Ekonomi Dunia dan Hubungan Internasional di Russian Academy of Sciences, menyampaikan pandangan mengenai rumitnya hubungan Ankara dengan para Kurdi:
“Sebelum 2002, Kurdi berada di posisi yang berbeda dengan sekarang. Bahasa Kurdi dilarang, sama seperti bahasa etnis minoritas lain. Jika Anda menyanyikan lagu bahasa Kurdi, Anda bisa dipenjara selama sepuluh tahun, bahkan lebih, karena dianggap melakukan propaganda separatisme. Di bawah pemerintahan Erdogan, para Kurdi mungkin memiliki televisi, radio, dan koran mereka sendiri. Itu merupakan langkah yang sangat penting.”
“Namun kemudian Erdogan menghentikan reformasi dan membangkitkan nostalgia Kekaisaran Ottoman, mempromosikan tren yang disebut ‘neo-Ottomanisme’. Itu adalah ide yang tidak bagus. Bagi para Kurdi, masa-masa Kekaisaran Ottoman dihubungkan dengan rezim yang sangat kejam.”
Menurut Nadein-Rayevsky, situasi memburuk sejak pemilu parlemen pada Juni lalu. Orang-orang yang mendukung Partai Demokrat Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi merebut 13 persen suara dari Partai Keadilan dan Pengembangan yang merupakan mayoritas, dan pada dasarnya mengubah niatan Erdoganuntuk mereformasi Konstitusi dan membuat Turki menjadi negara dengan gaya kepresidenan seperti AS.
Tertekan, Erdogan menyerang kembali, curiga bahwa meningkatnya kepentingan HDP sangat berbahaya mengingat situasi terbaru wilayah tersebut: Kurdi Suriah mendapat otonomi dari Presiden Suriah Bashar al-Assad, sementara Kurdi Irak menikmati status sebagai wilayah yang hampir berdaulat dengan banyak atribut kenegaraan.
Hal tersebut juga merupakan serangan ganda. Pemimpin HDP Selahattin Demirtas berada di bawah pengawasan lembaga keamanan. Organisasi masyarakat Kurdi kini diperlakukan sebagai pengkhianat potensial, menyembunyikan simpati untuk apa yang dilihat sebagai taktik teroris yang dipraktikkan oleh PKK (kekacauan tersebut telah menewaskan 40 ribu orang selama 40 tahun terakhir, baik Turki maupun Kurdi). Di waktu yang sama, pasukan udara Turki mengebom posisi YPG di dalam Suriah.
Perkembangan tersebut memicu spekulasi bahwa Erdogan faktanya tak melakukan perang berskala-penuh melawan ISIS, berbeda dengan pernyataan resmi mereka. Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa sikap Erdoganyang mengabaikan ISIS dimotivasi oleh kalkulasi pragmatis bahwa para Islam radikal melakukan ‘tugas kotor’ yang sesuai dengan tujuan strategis bagi pemerintahannya.