Lompatan Teknologi
Pesawat Su-35 Super Flanker, yang diincar oleh AU Indonesia, tentu saja lebih canggih. Sukhoi mengklasifikasikannya sebagai pesawat generasi ke-4++, yang berada tepat di bawah pesawat siluman generasi kelima. Dibandingkan dengan F-16 dan F-18, yang berbasis teknologi tahun 1970-an, Su-35 baru saja masuk dalam perbendaharaan senjata AU Rusia. Tiongkok juga telah menandatangani kontrak senilai miliaran dolar untuk memperoleh 24 buah Super Flanker dan para pilot Tiongkok telah datang ke Rusia untuk menjalani pelatihan.
Berdasarkan informasi dari Air Force Technology, Su-35 memiliki kemampuan manuver yang tinggi (+9g) dengan sudut penyerangan tinggi, dan dilengkapi dengan sistem senjata canggih yang membuat pesawat ini memiliki kemampuan tempur yang luar biasa. Kecepatan maksimum pesawat ini mencapai 2.390 kilometer per jam atau Mach 2,25.
Majalah tersebut menyebutkan bahwa Su-35 mampu mengangkut sejumlah misil udara-ke-udara, udara-ke-permukaan, dan misil antikapal. Pesawat juga dapat dipersenjatai dengan beragam bom terarah, dan sensornya mampu mendeteksi serta melacak hingga 30 target udara dengan radar cross section (RCS) dalam radius 400 kilometer menggunakan moda lacak-dan-pindai.
Dalam laporan Aviation Week dari Paris Air Show 2013, pakar aviasi legendaris Bill Sweetman menuliskan bahwa kelincahan yang dipamerkan oleh Sukhoi Su-35 berakar dari konsep Rusia yang mementingkan jangkauan pendek serta pertempuran udara berkecepatan rendah.
“Pesawat ini dilengkapi dengan tiga sumbu dorong vektor (three-axis thrust-vectoring) dan memiliki kontrol penerbangan dan tenaga pendorong yang terintegrasi seluruhnya, menampilkan manuver yang tak tertandingi oleh pesawat tempur manapun,” tulis Sweetman.
Sweetman juga mengutip pilot kepala penguji Sukhoi Sergey Bogdan, “Sebagian besar pesawat tempur yang kami miliki saat ini memiliki dorongan vektor. Su-30MKI dan MKM dapat memamerkan manuver tersebut. Hal yang membedakan pesawat ini adalah ia memiliki lebih banyak dorongan, jadi saat menampilkan manuver, ia dapat tetap berdiri kokoh, dan setelah pembakaran dimulai, pesawat dapat mempertahankan penerbangan hingga 120-140 kilometer per jam.”
Penekanan “kemampuan manuver super” berlawanan dengan doktrin pertempuran udara Barat, yang lebih menekankan kecepatan tinggi, menghindari “peleburan” lamban dan taktik hemat energi. Namun menurut Bogdan, kemampuan manuver super merupakan aspek yang sangat penting.
“Pertempuran udara klasik dimulai pada kecepatan tinggi, namun jika Anda melewatkan tembakan pertama, dan kemungkinanannya besar karena ada manuver untuk menghindari misil, pertempuran akan berlangsung lebih lama,” kata Bogdan. “Setelah bermanuver, pesawat akan berada di kecepatan rendah, namun kedua pesawat akan berada di posisi di mana mereka tak bisa menembak. Kemampuan manuver super membuat pesawat dapat berbalik dalam tiga detik dan kembali menembak.”
Terkait hemat energi, Bogdan mencatat, “Teori pertempuran udara selalu berevolusi. Pada 1940-an dan 1950-an, prioritas utama adalah ketinggian, lalu kecepatan, kemudian manuver, dan persenjataan. Lalu pada generasi ketiga dan keempat, urutannya berubah menjadi kecepatan, ketinggian, baru manuver. Kemampuan manuver super ditambahkan. Itu ibarat pisau di saku tentara.”
Meski tak memiliki kemampuan siluman, pesawat Su-35 bisa ‘menghilang’, tak terlihat di radar musuh, pada beberapa kondisi tertentu. Sweetman menjelaskan, perubahan kecepatan yang berlangsung acak dapat membuat merusak radar. Manuver tersebut sangat berguna bagi Su-35S karena pilot dapat menerbangkan pesawat ke segala arah.