Menetralisasi Ancaman
ASEAN terdiri dari sepuluh negara yang terbilang kecil dan hidup di bawah bayang-bayang kekuatan militer Tiongkok. Melalui gabungan sikap militer dan diplomasi agresif, Tiongkok mencoba membawa negara-negara tersebut ke meja negosiasi. Namun, karena Beijing memegang semua kartu AS, semua solusi yang tercapai pada periode tersebut hanya menguntungkan Tiongkok. Pengamat regional telah mendorong negara-negara ASEAN untuk mempersenjatai diri dengan dukungan negara kuat, seperti Rusia, untuk menjamin keamanan wilayah mereka. Meningkatkan biaya bagi Beijing akan menurunkan ancaman agresi Tiongkok.
Ian Storey dari Institut Studi Asia Tenggara memberi contoh kasus bagaimana Vietnam memiliki keamanan antipeluru yang beralasan dengan pendampingan Rusia. “Seiring dengan meningkatnya ketegangan di Laut Tiongkok Selatan sejak 2007 2008, Vietnam telah mempercepat modernisasi pasukan bersenjatanya, terutama angkatan laut dan angkatan udara,” tulisnya. “Rusia memasok 90 persen impor senjatanya untuk Vietnam, termasuk enam kapal selam kelas Kilo, enam kapal fregat kelas Gephard, enam kapal korvet kelas Tarantul (dibangun di Vietnam), enam kapal patroli kelas Svetlyak, 32 jet tempur Su-30 dan sistem misil pertahanan udara.”
Menurut Storey, “Senjata Rusia telah mempersenjatai Vietnam secara terbatas, tapi ampuh melawan Tiongkok, yang dapat menimbulkan kerusakan serius bagi AL Tiongkok jika konflik pecah di Laut Tiongkok Selatan. Meski larangan penjualan senjata mematikan Amerika ke Vietnam telah dicabut, Rusia sepertinya masih menjadi pilihan pertama penjual senjata bagi negara tersebut karena hubungan jangka panjang antara kedua negara dan perangkat Rusia lebih murah.”
Peningkatan multipolarirad — yang didukung kuat oleh Rusia — juga menguntungkan Moskow. William Kucera dan Eva Pejsova dari Insitut Riset Kontemporer Asia Tenggara yang berbasis di Bangkok menjelaskan hubungan strategis Rusia-Mayalsia dalam makalah berjudul “Kemitraan Diam-diam Rusia di Asia Tenggara”, ketertarikan Malaysia berkaitan dengan Rusia dapat dilacak sejak tahun 1970-an. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad (1981 – 2003), Malaysia mengubah kebijakan pro-Barat menjadi netral dan tak berpihak, mencari kemitraan baru dan mendiversifikasi sumber kerja sama ekonominya ke negara-negara non-Barat. Khawatir dengan perkembangan pasca-Perang Dingin, sistem dunia unipolar yang didominasi AS, golongan elit yang saat ini memimpin Malaysia memilih menyeimbangkan kembali distribusi kekuatan wilayah tersebut dengan mendukung kekuatan non-Barat.